kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Aturan soal batas minimal pembiayaan ke UMKM dinilai berisiko bagi perbankan


Selasa, 07 September 2021 / 17:57 WIB
Aturan soal batas minimal pembiayaan ke UMKM dinilai berisiko bagi perbankan
ILUSTRASI. Pekerja menata donat di salah satu pabrik roti di Tangerang Selatan, Rabu (21/7). ./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/21/07/2021.


Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas, Aviliani, menilai aturan Bank Indonesia (BI) mengatur Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) UMKM untuk perbankan minimal 20% di Juni 2022 bahkan 30% di Juni 2024 bisa berisiko bagi industri perbankan. 

Menurut dia, UMKM yang mengalami kenaikan kelas juga masih sedikit. Selain itu, kredit dalam jumlah besar biasanya hanya diperlukan jika kondisi perekonomian sudah stabil dan baik. 

“Kalau nanti 30% (ke UMKM), bahayanya adalah, terutama bank BUKU 3 dan BUKU 4 begitu dia harus biayai infrasstruktur yang jumlahnya signifkan, 30% ada yang serap enggak? Karena kalau kita lihat kenaikan kelas UMKM sangat lamban, takutnya dipaksakan dan enggak terserap. Apalagi ada denda juga,” ujar Aviliani, Selasa (7/9). 

Ia melanjutkan, seharusnya aturan tersebut bisa ditinjau kembali. Seberapa besar pembiayaan atau kredit yang dibutuhkan UMKM.  “Jadi menurut saya perlu dilihat lagi apakah benar UMKM setiap tahun butuh pinjaman sebesar itu? Menurut saya itu agak diragukan,” jelasnya.  “Kalau ekonomi sudah bagus 2023, apakah mampu 30 persennya mampu terserap UMKM? 30% itu tinggi lho. Perlu dihitung kembali,” tambahnya. 

Baca Juga: OJK: Prospek pembiayaan rumah multifinance semakin sulit

Dalam kesempatan yang berbeda, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan, kebijakan BI tersebut sudah melampaui kewenangan Bank Sentral. Hal ini pun dinilai bisa membuat industri perbankan kebingungan untuk menjalankan bisnisnya. “Bisa membuat kebingungan di industri perbankan, otoritas yang mengatur bank jadi dua,” kata Piter. 

Menurut Piter, BI seharusnya mendorong penyaluran kredit perbankan melalui instrumen moneter, bukan masuk ke individu bank dan memberikan sanksi. Sebab, ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang seharusnya mengatur dan mengatur perbankan. 

Dia melanjutkan, pengaturan besaran pemberian kredit  ini dinilai memberatkan perbankan. Apalagi, tidak semua bank memiliki porsi yang besar terhadap UMKM, tergantung dari karakter bisnis bank tersebut. 

“BI bisa mendorong bank dengan instrumen moneter yang mereka miliki, antara lain suku bunga. Kalau kemudian instrumen suku bunga tidak efektif, BI harusnya fokus mencari apa penyebab instrumen suku bunga tidak bisa meningkatkan penyaluran kredit,” jelasnya. 

Baca Juga: Antisipasi dampak restrukturisasi, Himbara diminta miliki LAR coverage minimal 30%

Kepala Departemen Kebijakan Makropudensial Bank Indonesia (BI) Juda Agung sebelumnya mengatakan bahwa perbankan wajib memenuhi RPIM UMKM sebesar 20% pada Juni 2022.

"Perhitungannya dilakukan secara bertahap yang kemudian menjadi 25% pada Juni 2023 dan 30% di Juni 2024," ujar Juda dalam Taklimat Media secara virtual, Jumat (3/9).

 

Selanjutnya: Bank Mandiri catat simpanan nasabah tier di atas Rp 5 miliar tumbuh 15% ytd per Juli

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×