Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Kebijakan peningkatan batas bawah rasio pinjaman terhadap pendanaan atau loan to funding ratio (LFR) menjadi 80% bukan obat kuat untuk meningkatkan kredit. Pasalnya, bank lambat menyalurkan kredit karena minim permintaan pinjaman kredit yang disebabkan oleh kelesuan pertumbuhan ekonomi.
Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menyampaikan, seperti kelesuan kredit bukan karena masalah likuiditas, tetapi lebih karena masih agak lesunya ekonomi. "Jadi saya kira penerapan LFR tersebut baik, namun tidak serta merta akan meningkatkan kredit kalau permintaan pasar untuk kredit masih lemah," ungkap Jahja, belum lama ini.
Menurutnya, untuk dorong kredit saat ekonomi sedang agak lesu bukan obatnya, yang penting Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta proyek infrastruktur jalan, maka ekonomi akan gairah dan kredit meningkat.
Bank yang terafiliasi oleh Grup Djarum ini akan menjaga rasio LFR pada level 79%-80% di tahun 2016 dengan target pertumbuhan kredit minimal 11%. Jahja menambahkan, rata-rata bank sudah di atas itu, hanya yang masih di bawah itu saja terpacu untuk memenuhi rasio LFR.
Haru Koesmahargyo, Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) menuturkan, pihaknya akan menjaga rasio LFR di level 80% dengan menyeimbangkan pertumbuhan kredit dengan perolehan dana.
Misalnya, dengan target pertumbuhan kredit 16%-17% di tahun 2016 maka BRI membutuhkan tambahan likuiditas salah satunya dari pasar modal. "Untuk rasio LFR tetap terjaga maka BRI siapkan surat-surat utang," ucap Haru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News