Reporter: Nina Dwiantika |
JAKARTA. Bank-bank di Indonesia mengaku telah mematok pinjaman untuk nilai atau loan to value (LTV) sebesar 70% khusus sektor kredit kelapa sawit dan batubara. Besarnya LTV itu akibat risiko tinggi bisnis sawit dan batubara saat ini. Selain itu, juga karena bank lokal belum marak memasuki segmen ini.
Direktur Business Banking Bank Negara Indonesia (BNI), Krishna R Suprapto menyatakan, BNI mematok uang muka atau down payment sebesar 30% kepada debitur yang mengajukan kredit kelapa sawit atau batubara. Menurutnya, besaran DP tersebut membuat rasio kredit macet atau non performing loan (NPL) terjaga pada kisaran 0%.
"Kami melihat rencana BI akan mengatur LTV kredit kelapa sawit dan batubara karena melihat risiko makro dari kedua sektor tersebut," ucapnya.
Serupa, Direktur Whosale Banking Bank Permata Roy A. Arfandy menuturkan, porsi ekuitas dari pemilik proyek untuk pembiayaan proyeknya sekitar 30% dan 40%, sedangkan pembiayaan bank sekitar 60%-70%. Saat ini, perseroan akan menjaga porsi kredit sawit dan batubara. "Kami juga melakukan monitoring untuk menjaga kualitas kredit. Saat ini kami tidak mengalami kenaikan NPL di kedua sektor tersebut," ucapnya.
Sebelumnya, Rafjon Yahya, Executive Vice President Corporate Banking PT Bank Mandiri, menyampaikan Mandiri telah menerapkan LTV 65% di sektor kelapa sawit. Uang muka kredit itu 35%.
Rafjon bilang, uang muka pinjaman kelapa sawit besar untuk menjaga rasio kredit macet. "Mandiri mencatat rasio kredit macet pada kelapa sawit sebesar 0,5%," kata Rafjon.
Risiko tinggi
Krishna mengatakan, belum ada potensi penggelembungan atau bubble pada kedua sektor tersebut. Sebab, pembiayaan sektor kelapa sawit dan batubara dari bank masih kecil. BNI misalnya, memiliki kredit kelapa sawit sebesar sekitar Rp 7,223 triliun, kurang dari 10% total kredit korporasinya.
Sedangkan kredit yang mengalir ke batubara hampir tidak ada. "Batubara tidak ada, karena kami belum paham. Tapi kami lebih memberikan kredit seperti alat berat kepada pengusaha batubara," jelasnya.
Kepala Ekonom Bank Mandiri, Destry Damayanti menjelaskan, kondisi ekonomi global yang belum membaik, serta ekonomi di negara-negara Asia seperti China dan Indonesia yang belum stabil, membuat harga komoditas seperti kelapa sawit dan batubara jalan di tempat. Alhasil, perbankan membatasi kucuran kredit ke dua sektor tersebut karena berisiko tinggi.
Namun, rasio kredit macet pada kedua sektor tersebut masih rendah karena tidak banyak bank main ke arah sana. "Bank yang terkena kredit macet tinggi pada sektor ini biasanya bank-bank kecil atau bank yang baru mulai masuk ke sektor itu," katanya.
Menurutnya, rencana pembentukan LTV pada kedua sektor tersebut tidak akan berpengaruh besar pada bank yang ingin mengalirkan kredit mereka ke sektor produktif. "Masih ada sektor lain untuk memperbesar kredit produktif seperti UMKM," tambahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News