Reporter: Nina Dwiantika, Mona Tobing, Roy Franedya | Editor: Wahyu T.Rahmawati
JAKARTA. Perbankan menyerahkan penanganan krisis global kepada Bank Indonesia (BI) dan pemerintah. Namun sebagai industri, mereka terus melakukan antisipasi guna menghindari risiko terburuk dari krisis tersebut. Salah satu caranya, lebih selektif dalam menyalurkan kredit.
Bank mulai mengurangi pinjaman ke pelaku usaha yang hasil produksinya menyasar pasar global. Untuk mengompensasi stagnasi di sisi itu, bank menggeber segmen lain yang tidak terpengaruh langsung krisis. Misalnya, kredit mikro dan konsumsi.
Direktur Keuangan Bank Rakyat Indonesia (BRI) Achmad Baiquni mengatakan, kredit mikro aman dari krisis, karena pelaku usahanya tidak bermain di pasar keuangan. Barang dagangan merekapun hanya ke pasar domestik.
Sementara kredit konsumsi lebih bertumpu ke kredit pemilikan rumah (KPR), karena peminatnya masih besar dan tingkat kepatuhan membayar tinggi. Maklum, di Indonesia, sebagian besar pengambil KPR adalah pemilik rumah pertama dan untuk ditinggali, bukan investasi. Konsumen jenis ini juga tidak gampang nyerah (default), sekalipun ekonomi sedang sulit.
Hingga September 2011, kredit BRI tumbuh 24% (year on year/yoy) atau sebesar Rp 283 triliun. Dari pertumbuhan itu, porsi kredit mikro 35%.
Berbeda dengan mikro, BRI mengerem kredit menengah terutama di sektor ritel. "Karena non-performing loan (NPL) kredit menengah tinggi, sebesar 7%," kata Sulaiman Arief, Direktur BRI. NPL secara keseluruhan sebesar 3%.
Sekretaris Perusahaan Bank Central Asia (BCA), Raymond Yonanto mengungkapkan, kredit konsumer masih aman dari ancaman krisis. KPR tetap terkendali meski pertumbuhannya lebih dari 37% (yoy) pada semester I-2011.
BCA melihat, kredit perdagangan juga masih aman. Kredit ke pertambangan dan perkebunan yang berorientasi ekspor, masih tetap seperti biasa. "Krisis ekonomi global belum terlihat pengaruhnya," tutur Wakil Presiden Direktur BCA, Eugene Keith Galbraith.
Ekonom Tony Prasetiantono menuturkan, kredit UKM memang paling aman, karena jumlahnya kecil dan karakteristik produknya tahan krisis. Dnegan begitu mudah mengendalikan NPL.
Sementara kredit konsumer memang agak berisiko, karena potensi macetnya besar. Namun, lantaran penyaluran kreditnya juga relatif kecil, mitigasi risiko kredit ini agak gampang.
Yang paling berisiko tentunya kredit korporasi. "Selain jumlahnya besar, produknya sensitif terhadap krisis. Rawan terjadi kenaikan NPL," kata Tony.
Kantor cabang luar negeri juga bersiaga
Efek krisis finansial juga mulai menyebabkan para bankir mulai melindungi kantor cabang mereka di luar negeri (LN). Kendati efeknya belum terlalu terasa, kantor pusat di Indonesia mulai memerintahkan kantor cabang LN lebih hati-hati memberikan kredit.
Salah satunya, BRI, yang memiliki cabang di New York, AS. Kontribusinya tergolong kecil antara 1%-2% dari total kredit valas. Kantor cabang ini mengumpulkan pemasukan dari fee based income.
Direktur Keuangan BRI, Ahmad Baiquni, mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan skenario. Di tahap krisis kategori sedang, ditandai melemahnya permintaan ekspor AS, manajemen akan mereview penyaluran kredit dan mengawal ketat ancaman gagal bayar nasabah.
Bila krisis sudah semakin parah, ditandai tidak adanya permintaan ekspor AS dan Yunani default, BRI akan membatasi kredit valas kantor cabang. "Kami jaga terus likuiditas," katanya.
BNI juga sudah menyiapkan penanganan krisis. Tapi, Yap Tjay Soen, CFO BNI, belum bisa menjelaskan bentuk penanganannya lebih rinci.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News