Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setahun belakangan, industri perbankan melulu menghadapi tantangan, tak cuma sulit mengalami masa emas dengan mencatat pertumbuhan kredit 20%-30% pada 2010-an, pandemi coronavirus bikin bank makin terseok. Meski demikian, dorongan konsolidasi dari pemerintah dan otoritas mulai menampakkan hasilnya sejak tahun lalu.
Tanpa ada pandemi, sejatinya kinerja industri perbankan cukup menantang. Tahun lalu, pertumbuhan kredit misalnya cuma tercatat cuma 6,04%. Melanjutkan tren perlambatan sejak beberapa tahun belakangan yang sebelumnya masih bisa mencatat pertumbuhan di atas 10%.
Catatan serupa juga terjadi dari aspek penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), tahun lalu pertumbuhannya juga cuma di kisaran 6,5%. Pertumbuhan DPK tlah berada di bawah 10% sejak awal 2010.
Baca Juga: Pengamat: Wacana pengembalian pengawasan bank ke BI lebih banyak mudaratnya
Ini pula yang membuat likuiditas perbankan cenderung meningkat belakangan tahun. Sampai puncaknya semester II-2019 lalu, Bank Indonesia turut melonggarkan rasio intermediasi makroprudensial (RIM) dari 82-92% menjadi 84-94%. Niatnya guna mendongkrak pertumbuhan kredit kembali di atas 10%. Sayang jauh panggang dari api.
Apalagi sejak awal tahun, pandemi global Covid-19 ikut menyerang tanah air. Tahun ini yang ditargetkan membawa asa baru justru membelenggu. Pemerintah bersama otoritas keuangan berupaya mencegah dampak negatif pandemi, sejumlah stimulus stimulus diluncurkan.
Salah satu yang pertama dan utama adalah relaksasi ketentuan restrukturisasi kredit dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sejak Maret, bank tak perlu menyisihkan pencadangan buat debiturnya yang terimbas pandemi. penilaian kolektabilitas kredit pun dipangkas hanya mengandalkan satu pilar. Tujuannya agar rasio kredit macet bank dapat ditekan, sekaligus mengurangi biaya pencadangan yang perlu dibentuk
Sampai 27 September 2020, telah ada 100 bank yang merestrukturisasi kredit senilai Rp 904,285 triliun dari 7.465.990 debitur. Nilai tersebut berasal dari 5.824.976 debitur UMKM dengan nilai kredit Rp 359,977 triliun, dan 1.641.014 debitur non UMKM dengan kredit Rp 544,308 triliun.
Baca Juga: Setahun Jokowi-Ma'ruf Amin, ini menteri-menteri paling mencolok pilihan pengusaha
Sayangnya, kebijakan ini tak serta merta bisa menekan non performing loan (NPL). Terutama pada kuartal II-2020, NPL telah beranjak ke level di atas 3%. Pun, meski tak diwajibkan, sejumlah bank tetap membentuk pencadangan ekstra guna memitigasi risiko lebih lanjut.
Maklum, tak semua debitur bank laik dapat relaksasi restrukturisasi. Sehingga bank juga perlu membentuk pencadangan untuk menghindari kenaikan NPL, sekaligus kerugian yang makin dalam.
Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo pun mengimbau hal serupa. Ia bilang meskipun OJK telah memastikan adanya perpanjangan waktu restrukturisasi kredit terimbas pandemi, bank kini mesti bersiap menghadapi dampak lanjutan terhadap debitur yang gagal bertahan akibat pandemi.
“Buat debitur yang dapat bertahan selama pandemi bisa diberikan restrukturisasi lanjutan oleh bank, sementara yang gagal, tentu bank mesti menyiapkan pencadangan untuk mencegah pemburukan kredit,” ujarnya pada KONTAN.