Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Dikky Setiawan
Jakarta. Tahun depan, anggaran Bank Indonesia diperkirakan akan mengalami defisit hingga Rp 22,4 triliun. Dengan kata lain, defisit BI akan melompat ribuan persen dari perkiraan defisit tahun ini yang "hanya" Rp 1,9 triliun.
Penyebab utama lonjakan defisit neraca BI adalah ongkos moneter yang kian mahal. Padahal, di saat yang sama, penerimaan dari pengelolaan cadangan devisa kalah kencang dari ongkos moneter.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi Agus Sarwono menjelaskan, prediksi defisit yang cukup besar itu berangkat dari asumsi kondisi makro ekonomi 2010.
BI menaksir, tahun depan laju pertumbuhan inflasi akan maksimal 6%, pertumbuhan ekonomi 5,5%, dan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 6,5%. "Dari angka-angka itulah, kami memperkirakan kebutuhan likuiditas untuk membiayai pertumbuhan ekonomi, demikian pula kelebihan likuiditas yang harus bisa kami serap," tutur Hartadi di Jakarta, Rabu (18/11).
Selain likuiditas dari dalam negeri, BI juga memperhitungkan kelebihan likuiditas yang berasal dari utang luar negeri. "Ini merupakan fresh money yang akan menambah jumlah uang beredar," ujar Hartadi. itu berarti BI harus menyerap kelebihan likuiditas supaya laju inflasi tetap terkendali.
Penerimaan Lambat
Penyerapan kelebihan likuiditas itu dilakukan melalui instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). "Kami perkirakan dana yang tersimpan di SBI tahun depan sekitar Rp 300 triliun. Jika bunga acuan diasumsikan 6,5%, biaya bunga SBI saja mencapai Rp 20 triliun - Rp 21 triliun," jelasnya.
Padahal, BI sendiri memprediksi tingkat inflasi akan melonjak tahun depan. Boleh jadi, bunga SBI berada di atas 6,5%. Saat ini, dana yang tersimpan di SBI sekitar Rp 280 triliun.
BI juga memiliki instrumen moneter lain yang menyedot ongkos moneter, seperti Fasilitas Simpanan BI (FaSBI), Fine Tune Kontraksi (FTK) dan SUN. Total dana yang diserap melalui instrumen moneter BI per 5 November lalu mencapai Rp 296 triliun.
Hanya saja, defisit akibat ongkos moneter ini tak diimbangi oleh laju penerimaan yang sepadan dari pengelolaan devisa. "Pengelolaan devisa sedang sulit. Karena kondisi global seperti ini, bunganya mendekati 0%," jelas Hartadi. Dalam memilih keranjang devisa, BI mempertimbangkan unsur likuiditas supaya cadangan devisa bisa diambil sewaktu-waktu.
Deputi Gubernur BI Budi Mulya menambahkan, faktor keamanan juga menjadi pertimbangan utama. "Selain itu, kami juga mempertimbangkan penempatannya juga bisa memberikan return," kata dia. Cadangan devisa per Oktober sebesar US$ 64,5 miliar.
BI juga mempertimbangkan investasi di emas. "Kami akan pelajari yang baik. Yang terpenting, penerimaan tetap optimal," kata Hartadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News