Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah saat ini masih terus mengkaji terkait pengaturan Lembaga Penjamin Polis (LPP) yang bakal tertuang di dalam turunan Undang Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Keuangan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan Adi Budiarso menyampaikan diskusi yang tengah dibahas saat ini menyoal konsep penjaminan polis.
“Kita mendorong kapasitas industri untuk bisa menyelesaikan masalah sampai ke ujung, industri meningkatkan kapasitas untuk mendukung program ini setara dengan perbankan yang sudah ada jauh sebelumnya dari asuransi,” ujarnya saat ditemui di Nusa Dua, Bali, Kamis (12/10).
Adi menjelaskan, hal ini harus diselesaikan dalam kurun waktu lima tahun sejak UU P2SK diundangkan berarti pada tahun 2028. Menurutnya, segala perencanaan disiapkan seperti mekanisme, iuran hingga anggotanya.
Baca Juga: Maipark Catatkan Kenaikan Pendapatan Premi 17% hingga September 2023
“Syaratnya semua industri harus siap, harus sehat, agar menjadi bagian dari program penjaminan polis, ini yang digodok dalam waktu dua tahun ke depan,” jelasnya.
Terkait iuran penjaminan polis, kata Adi, dirinya belum bisa menjelaskan secara detil berapa iuran yang akan diberikan oleh perusahaan asuransi kepada LPP nantinya.
“Saya dalam kapasitas saat ini belum bisa menjelaskan angkanya secara detil, kita ada benchmark-nya. Ini masih digodok bersama termasuk industri akan memberikan masukan, persiapannya seperti apa dan kita lihat juga kebijakannya adaptif terhadap kebutuhan dan kesiapan kita,” kata dia.
Di lokasi yang sama, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Budi Herawan menuturkan pihaknya telah berdiskusi dengan pemerintah terkait LPP ini. Menurutnya, ini hanya untuk perusahaan asuransi saja dan tidak mencakup reasuransi.
“Yang cukup menarik LPP ini stand alone, tidak ada reasuransinya jadi benar-benar mitigasi risiko yang diberikan ke LPP ini harus diperhitungkan,” tuturnya.
Budi menyatakan, indikator dari perusahaan asuransi yang sehat juga sedang dipikirkan, apakah cukup mengandalkan dari tingkat solvabilitas alias Risk Based Capital (RBC) di level 120% saham atau ada hal lainnya.
“Berkaitan dengan produk kami mengkaji juga di internal untuk tahap pertama kira-kira line of business mana yang bisa kita berikan ke LPP. Ini menyangkut, batasan seperti apa, apakah yang bisa dijamin atas nama perusahaannya atau individual seperti yang diperbankan,” terangnya.
Baca Juga: AAUI: Insurtech di Indonesia Akan Tumbuh Empat Kali Lipat hingga 2026
Budi bilang, langkah ini masih panjang sehingga masih cukup waktu untuk berfikir. Selain itu, menyangkut iuran, kata dia, ini dirasa membebani industri asuransi umum, sayangnya dia tak membeberkan berapa besaran iuran tersebut.
“Menyangkut iuran, ini jujur membebani kami juga, cukup berat kita ini di industri asuransi umum saat ini tapi ini amanah dari UU P2SK kita harus jalani. Awalnya teman-teman di industri asuransi pasti ada yang relakan, tetapi begitu sudah tahu manfaatnya bagaimana LPP ini bekerja seperti LPS kita akan dukung terus,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News