Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk meminta adanya penurunan besaran payout ratio atau persentase dividen terhadap laba. Direktur Keuangan Bank BNI Yap Tjay Soen merekomendasikan penyesuaian besaran pembagian dividen 2013, sebesar 20% dari laba bersih.
"Penyesuaian 20% arahnya. Tapi permintaan ini bisa dikasih atau belum tentu dikasih," ujar Yap di Jakarta, Selasa (4/2). Yap bilang, pembagian besaran payout ratio akan berdampak pada modal.
Lebih lanjut Yap mengungkapkan, sisa pembagian persentase dividen baiknya dimasukkan sebagai modal perbankan. Menurutnya, jika permodalan bank tidak meningkat, tentu akan berdampak kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit.
Yap bilang, jika Aktiva Tertimbang Menurut Rasio (ATMR) dan komposisi perbankan lain mengalami perubahan, maka kekuatan penyaluran pinjaman juga akan berkurang. "Kalau modalnya terlalu tipis, maka bank tidak akan kuat. Sedangkan, kami (bank BUMN) sudah dipatok oleh DPR, kepemilikan publik hanya boleh sebesar 40%. Berarti kami tidak bisa lagi rights issue (terbitkan saham baru), karena itu pemerintah harus setor uang, tapi kan susah kalau pemerintah harus setor uang," jelasnya.
Catatan saja, berdasarkan kinerja perbankan 2012, tiga bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk dan PT Bank Tabungan Negara (BTN) Tbk, membagikan porsi dividen mencapai 30% dari laba bersih 2012, yang mencapai Rp 8,07 triliun.
Yang paling merasakan manisnya laba bank pelat merah tentu saja pemerintah. Karena, dari total dividen yang dibagikan, sebesar 60% atau setara dengan Rp 4,84 triliun akan masuk ke brankas pemerintah dan menjadi salah satu sumber pendanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 15/12/PBI/2013 yang diteken 12 Desember lalu, kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) bank dilakukan untuk memperkuat permodalan bank baik dari sisi kualitas maupun kuantitas yang disesuaikan dengan standar internasional, Basel III. Seperti aturan sebelumnya, bank wajib memenuhi KPMM 8%-14% dari ATMR tergantung profil risiko masing-masing bank.
Aturan bank sentral ini mewajibkan bank untuk juga membentuk tambahan modal sebagai penyangga, berupa capital conversation buffer, countercylical buffer, dan capital surcharge.
Capital conversation buffer merupakan modal penyangga bila terjadi kerugian saat terjadi krisis. Tambahan modal ini hanya untuk bank di kelas bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4. Sementara, capital surcharge hanya berlaku bagi bank yang berdampak sistemik.
Sedangkan countercyclical buffer merupakan tambahan modal bagi semua bank yang berfungsi untuk mengantisipasi kerugian bila terjadi pertumbuhan kredit berlebihan, sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. Tiga jenis tambahan modal ini mulai berlaku 1 Januari 2016 dan dilakukan bertahap.
Selain kuantitas, BI juga mewajibkan bank meningkatkan kualitas permodalan, melalui perubahan komponen dan persyaratan instrumen modal sesuai Bassel III. Menurut beleid baru ini, komponen modal terdiri atas modal inti (tier 1) dan modal pelengkap (tier 2). Modal inti terdiri atas modal inti utama dan modal inti tambahan.
BI mewajibkan bank menyediakan modal inti paling rendah sebesar 6%. Sebelumnya, kewajiban modal inti hanya 5% dari ATMR. Selain itu, bank juga wajib menyediakan modal inti utama minimum 4,5% dari ATMR, baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan perusahaan anak.
Dengan aturan baru ini, pemegang saham harus rela menambah suntikan modal. Jika tak mampu, opsi merger bisa menjadi pilihan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News