Reporter: Steffi Indrajana | Editor: Test Test
JAKARTA. Masalah permodalan menjadi masalah klasik yang membuat peran Bank Pembangunan Daerah (BPD) dalam pembangunan daerah kurang maksimal. Maklum, selama ini modal BPD sangat tergantung kepada pemerintah daerah (Pemda).
Jika ingin meambah modal, rencana tersebut harus tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). "Terkadang yang bikin sulit adalah para anggota legislatif. Mereka berpikir, untuk apa menambah modal bank jika ada proyek yang lebih penting," jelas Ketua Umum Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Winny Erwindia Hassan, akhir pekan lalu.
Oleh karena itu, Asbanda meminta dukungan Bank Indonesia (BI) agar membuat kebijakan baru yang bisa mempermudah peningkatan modal BPD. "Yang sedang kami pikirkan, bagaimana agar penambahan modal lebih sederhana dan Pemda serta para anggota DPRD lebih memahami pentingnya modal BPD," jelas dia.
Ia mencontohkan, di negara tetangga seperti Malaysia, proyek-proyek pemerintah daerah bisa mendapatkan dana dari investor lain. Pembiayaan proyek juga bisa berasal dari sektor swasta yang mendapatkan dukungan pembiayaan dari perbankan, misalnya dengan skema pembiayaan syariah. Dus, tidak bergantung pada APBD. "Kami sudah membicarakan hal ini dengan BI dan sudah membentuk kelompok kerja," ujarnya.
Winny bilang, dengan modal yang lebih kuat, BPD ikut terlibat dalam pembangunan daerah. Contohnya, membangun infrastruktur, seperti pembangkit tenaga listrik dan jalan. "Kinerja BPD umumnya sesuai target, bahkan banyak yang melebihi target. Makanya, masalah modal ini harus menjadi perhatian," ujarnya.
Sebenarnya, masih ada cara lain bagi BPD untuk mendapatkan tambahan modal, yaitu dengan Initial Public Offering (IPO). Tetapi, tidak semua BPD bisa menawarkan sahamnya kepada publik. Pasalnya, ada banyak persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi sebelum melakukan IPO. Biasanya, BPD harus menerbitkan obligasi atau obligasi subordinasi terlebih dahulu. "Baru BPD Jabar Banten yang melakukan IPO. Ini bisa menjadi contoh bagi BPD lainnya," tutur Winny.
Sejauh ini, BPD yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) memang baru Bank Jabar Banten. Namun, jumlah BPD yang pernah menerbitkan surat utang sudah lebih banyak. Yaitu, sekitar 10 BPD dari total 26 BPD yang ada di Indonesia.
Contohnya, BPD Sulawesi Utara, BPD Lampung, BPD Jatim, dan BPD Bengkulu. Tetapi, dana yang didapat dari penerbitan surat utang hanya berfungsi untuk mengatur likuiditas. Sebab, BPD tidak mempunyai dana jangka panjang yang cukup. "Kalau bicara tambahan modal, tetap harus dari Pemda," tandas Winny.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News