kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

Butuh investasi besar, bank daerah belum melirik bisnis kartu kredit


Senin, 08 April 2019 / 19:28 WIB
Butuh investasi besar, bank daerah belum melirik bisnis kartu kredit


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Selama ini bank daerah masih mengandalkan bank besar untuk menggelar bisnis kartu kredit. Biaya investasi dan resiko yang besar jadi faktor utama bank daerah belum mau sepenuhnya terjun di bisnis ini.

“Saat ini kami belum memiliki produk kartu kredit. Namun tahun ini ada rencana untuk co-branding dengan bank BUMN,” kata Direktur Pemasaran PT Bank Pembangunan Daerah DIY Agus Trimurjanto kepada Kontan.co.id, Senin (8/4).

Hal senada juga turut dikatakan oleh Direktur Pemasaran PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan dan Bangka Belitung Antonius Prawiro Argo. Ia bilang, untuk masuk ke segmen bisnis ini, bank memang butuh modal besar membangun infrastruktur. Selain itu, persaingan di bisnis ini juga ketat.

Padahal, Bank Sumsel Babel sebenarnya telah memegang izin penyelenggaraan kratu kredit sebagai acquirer sejak 2017 lalu. Namun Antonius bilang pihaknya saat ini juga belum berminat untuk mengajukan izin sebagai penerbit (issuer).

“Kami belum berencana untuk issuing, karena biayanya cukup mahal dan sebenarnya persaingannya sangat ketat. Sehingga untuk sampai BEP pasti lama dan sulit,” katanya kepada Kontan.co.id.

Saat ini perseroan sejatinya telah memiliki kartu kredit secara co-branding dengan PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk (BBNI), anggota indeks Kompas100. Meski tak merinci, Antonius bilang kontribusi bisnis ini ke perseroan sejatinya sedikit.

Di lain sisi, mekanisme co-branding sebenarnya juga tak banyak berimbas ke perseroan. Sebab, mulai dari aspek pembiayaan hingga mitigasi resiko akan ditanggung oleh bank penerbit. Sehingga bank penerbit yang akan meraih pendapatan lebih besar.

“Kami hanya sebatas menerbitkan memasarkan dan memberi rekomendasi, keputusan akhirnya ada di bank penerbit,” kata Sekretaris Perusahaan PT Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara (BPD Kaltimtara), Abdul Haris Salihin kepada Kontan.co.id.

Sayangnya, sistem co-branding juga belum banyak memberikan kontribusi kepada bank penerbit. General Manager Card Business Division BNI Okki Rushartomo misalnya menyatakan hingga saat ini tiga BPD yang sudah menjalin kerjasama kartu kredit co-branding dengan perseroan cuma menyumbang 1,5%-2% dari total outstanding.

Sedangkan ketiga BPD yang sudah menjalin kerjasama tersebut adalah PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJB), PT Bank Pembangunan Daerah DKI, dan Bank Sumsel Babel.

Sementara jika diasumsikan sepanjang 2018 lalu bank berlogo 46 ini punya outstanding bisnis kartu kredit sebesar Rp 12,55 triliun, maka ketiga BPD tersebut cuma menyumbang kisaran Rp 188,25 miliar hingga Rp 251,00 miliar.

“Untuk saat ini kami belum berencana menambah partner, karena kerjasama kami masih fokus ke bank daerah BUKU 3, yang punya captive customer cukup besar,” kata Okki kepada KONTAN.

Sementara di sisi lain, Ketua Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Martha bilang, sejatinya bank daerah bisa punya solusi untuk menjawab kendala biaya investasi yang mahal. Caranya dengan bekerjasama dengan perusahaan teknologi guna membangun infrastruktur bisnis kartu kredit.

Dengan cara ini, Steve bilang investasi bank daerah tak akan sebesar membangun nfrastruktur mandiri. Di samping itu, biaya tersebut bisa masuk ke operatinal expenditure (Opex), bukan ke capital expenditure (capex). Sehingga efisiensinya cukup signifikan.

“Di bisnis ini belum banyak yang menggunakan outsource terutama di sisi IT. Kebanyakan bank penerbit itu investasi mandiri, makanya biayanya menjadi mahal. Nah BPD bisa memanfaatkan ini, jadi dia tidak investasi penuh, cukup sharing platform,” kata Steve kepada Kontan.co.id.

Meski demikian Steve menyatakan memang ada beberapa karakteristik yang mesti dipenuhi BPD untuk masuk bisnis ini. Terutama BPD mesti punya basis nasabah yang besar. “Jika tidak sampai critical mass, bisnis kartu kredit memang tak akan menguntungkan,” sambungnya.

Dari catatan Bank Indonesia, akhir 2018 lalu tercatat transaksi menggunakan kartu kredit mencapai nominal Rp 314,29 triliun dengan jumlah transaksi mencapai 338 juta kali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×