kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45908,20   -15,29   -1.66%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Digitalisasi dan inklusi keuangan


Senin, 04 Maret 2019 / 13:28 WIB
Digitalisasi dan inklusi keuangan


Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Tri Adi

Digitalisasi semakin mencengkeram kehidupan masyarakat. Tentu banyak dampak positif dan tetap ada ekses negatif. Di sistem pembayaran, pekan ini LinkAja resmi beroperasi. LinkAja adalah layanan keuangan elektronik seluruh BUMN. Tahap awal, uang elektronik berbasis server BUMN bergabung ke LinkAja. Mereka adalah T-Cash milik Telkomsel, e-cash milik Bank Mandiri, UnikQu dan yap! milik Bank BNI, TBank dan My QR milik Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Direktur Institutional Equity Sales CGS-CIMB Securities Kartika Sutandi menjelaskan sudah seharusnya pemerintah hanya memiliki satu perusahaan keuangan berbasis elektronik. Ia mencontohkan pemerintah Hong Kong, hanya mengeluarkan satu kartu, yaitu Octopus Card untuk melayani masyarakat dan turis yang hendak menggunakan  transportasi publik, berbelanja makanan atau membeli tiket hiburan.

Pemerintah Singapura  juga memiliki satu kartu, yaitu EZ-Link Card. "Di Indonesia uang elektronik baru ada beberapa tahun lalu dan semua bank mengeluarkan. Universal payment system lebih bagus jika dikeluarkan pemerintah karena banyak data yang bisa didapat dari penggunaan universal payment system. Dengan memiliki satu perusahaan layanan keuangan berbasis digital, pemerintah dapat memiliki data keuangan serta behaviour masyarakat dan turis yang datang," terang Kartika, dalam keterangan tertulis.  

Selain itu dengan satu kartu terjadi efisiensi. BUMN tak perlu mengeluarkan belanja modal (capex) besar dan tidak saling "membakar uang". "Jika penyedia layanan keuangan berbasis elektronik lain harus membakar uang untuk mendapatkan pengguna, LinkAja tidak perlu. Cukup menjadi penyedia pembayaran di jalan tol, transportasi publik milik negara, BPJS dan SPBU Pertamina sudah sangat cukup. Masyarakat pasti akan menggunakan LinkAja. Pemerintah bisa membuat use case lebih mudah tanpa harus jor joran membakar duit," papar Kartika.

Manfaat lain  LinkAja dapat menjadi salah satu alat bagi pemerintah menyalurkan dana bantuan.  "Seperti  menyalurkan bantuan langsung tunai," kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara kepada saya, pekan lalu. Juga subsidi bahan bakar minyak (BBM) serta mengubah masyarakat yang tergolong unbanked menjadi banked. Dengan terwujudnya integrasi beragam layanan dari sisi teknologi dan perbankan, akses masyarakat untuk menikmati fasilitas layanan unbanked juga akan semakin mudah.

Sistem pembayaran LinkAja akan berhadapan langsung dengan Go-Pay dan OVO. Juga produk dari daratan China: AliPay dan WeChat. Tapi ke depan LinkAja tak cuma berkutat di sistem pembayaran. Menurut seorang sumber kepada saya, ke depan, LinkAja juga akan menyalurkan kredit secara online. Artinya, LinkAja akan bertarung dengan bisnis teknologi finansial atau tekfin (fintech).

Nah, jika sudah bermain di bisnis kredit, perlu persiapan dan aturan main yang jelas. Ada ekses negatif muncul. Kita masih ingat betul bagaimana peer to peer (P2P) lending legal harus berhadapan dengan tekfin ilegal. Si ilegal ini bertingkah bak lintah darat yang mengenakan bunga mencekik.

Kalau sudah menyalurkan kredit, LinkAja harus mengisi ceruk  pasar kredit produktif, jangan bermain di kredit konsumtif. Kemunculan lintah darat online dalam bentuk tekfin ilegal juga memanfaatkan lubang banyaknya pemain tekfin yang justru menyalurkan kredit konsumsi. Kalau sudah begini, cita-cita memperluas inklusi keuangan semakin akan terhambat. Tak perlu menanti LinkAja menyalurkan kredit. Sudah saatnya tekfin kembali ke khittah, yakni menyalurkan kredit produktif. Tinggalkan penyaluran kredit konsumtif atau payday loan. ♦

Ahmad febrian

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×