Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonomi yang berangsur pulih membuat kinerja perbankan kembali bangkit tahun ini.
Boleh dibilang, tahun 2022 merupakan kebangkitan bagi industri perbankan. Setelah tertekan akibat pandemi Covid-19 dalam dua tahun sebelumnya, bank-bank kembali ekspansif dan mencetak laba bersih yang sudah melampaui kondisi sebelum pandemi.
PT Bank Central Asia Tbk (BCA), misalnya, termasuk salah satu bank yang mengantongi laba besar tahun ini. Per Oktober 2022, BCA meraup laba Rp 31,89 triliun atau meningkat 17,73% yoy. Kenaikan laba ini seiring pendapatan bunga bersih atau net interest income (NII) yang meningkat 6,83% menjadi Rp 55,24 triliun.
Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur BCA optimistis permintaan kredit masih akan tumbuh didukung beberapa faktor. Pertama, akan terjadi kenaikan cost of goods sold (COGS) atau komponen biaya yang dikeluarkan perusahaan menghasilkan produk/jasa karena kenaikan raw material dan biaya tenaga kerja.
"Kalau itu naik, bank harus memberikan pinjaman kepada agen-agen. Kalau yang naik use loan aja, kita tak perlu tambah loan baru, katakan saat ini use loan misalnya 58% naik menjadi 65%, itu sudah aja sudah hampir 10% kenaikan kredit kita," jelas Jahja.
Baca Juga: BBRI Tebar Dividen Interim Rp 8,63 Triliun, Dibagikan untuk Publik Rp 4,04 Triliun
Kedua, minat investasi sudah mulai ada. Menurut Jahja, era bunga tinggi akan terjadi tahun depan tetapi akan mulai flat di akhir 2023 dan kembali mereda di 2024. Dengan proyeksi itu, consumer good diperkirakan akan semakin laku pada 2024.
Oleh karena itu, volume produksi harus ditingkatkan mulai tahun depan karena proses pembangunan pabrik atau menambah kapasitas produksi setidaknya butuh waktu satu tahun.
Bank Mandiri juga mencatatkan lonjakan laba bersih. Hingga Oktober 2022, Bank Mandiri membukukan laba Rp 31,51 triliun atau tumbuh 59,14%. Ini sejalan dengan kenaikan NII Bank Mandiri sebesar 13,43% yoy menjadi Rp 66,90 triliun. Di sisi lain, beban bunga turun 6,78% menjadi Rp 13,74 triliun.
Pun PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) mengantongi laba bersih Rp 15,48 triliun atau melonjak 83,41% yoy per Oktober 2022. Itu seiring dengan pendapatan bunga bersih yang naik 6,36% menjadi Rp 43,81 triliun, sedangkan pendapatan non bunganya naik 58,80% jadi Rp 3,43 triliun. Sisi lain, beban operasional (opex) BNI menurun 29,63% menjadi Rp 14,77 triliun.
Sementara, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) tercatat menjadi bank penghasil laba bersih terbesar sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2022 dan sekaligus menjadi mencetak pertumbuhan paling tinggi.
Per September 2022, BRI mengantongi laba bersih Rp 39,15 triliun. Laba ini melesat 103,3% dari periode yang sama tahun lalu atau secara year on year (YoY).
Capaian BRI ini sejalan dengan pertumbuhan pendapatan bunga bersih sebesar 16,3% yoy menjadi Rp 96,5 triliun.
Secara total, BRI meraup pendapatan bunga Rp 115,2 triliun atau naik 9,2% yoy, sedangkan beban bunga turun 17% yoy menjadi Rp 18,7 triliun.
Direktur Utama BRI Sunarso mengungkapkan, pencapaian tersebut tak lepas dari strategic response BRI yang tepat di tengah berbagai tantangan ekonomi. Pertama, fungsi intermediasi penyaluran kredit maupun penghimpunan dana masyarakat BRI masih tumbuh positif.
BRI bisa menjaga sustainability pertumbuhan ini dengan fokus pada aspek likuiditas terutama pertumbuhan dana murah, serta menjaga kualitas aset, terutama kredit yang kami restrukturisasi akibat pandemi Covid-19.
Bank asing
Tak jauh beda dengan bank domestik, kinerja sejumlah bank asing juga bangkit tahun ini.
Ambil contoh, DBS Group Holding membukukan laba bersih S$ 2,24 miliar atau sekitar Rp 24,57 triliun pada periode tiga bulan yang berakhir September 2022 atau melonjak 32% secara kuartalan. Dilansir dari Reuters, kenaikan itu karena bank memperoleh keuntungan dari suku bunga yang lebih tinggi.
CEO DBS Piyush Gupta mengatakan, bank melihat momentum bisnis yang berkelanjutan di kuartal ini dan kualitas aset tetap tangguh. Menatap tahun depan, penyaluran kredit disebut akan tetap sehat dan bisa mencapai pertumbuhan single digit.
DBS, yang memperoleh sebagian besar keuntungannya dari Singapura dan Hong Kong, ini mencatatkan pendapatan fee dan komisi bersih turun 13% pada kuartal tersebut, dirugikan oleh kelemahan dalam bisnis wealth management di pasar yang tertekan. Tetapi Gupta memperkirakan pendapatan biaya bisa tumbuh dua digit untuk tahun depan, dipimpin oleh wealth management dan kartu kredit.
Bank asing lain, UOB Group yang berbasis di Singapura mencatatkan laba bersih S$ 1,4 miliar atau sekitar Rp 16,20 triliun dan meningkat 34% secara tahunan per September 2022.
"Pertumbuhan kinerja didorong oleh pendapatan bunga bersih yang lebih tinggi dan pendapatan treasury terkait pelanggan," kata CEO UOB Group Wee Ee Cheong.
Pendapatan bunga bersih UOB pada kuartal ketiga naik 39% secara tahunan ke level tertinggi sebesar S$2,23 miliar atau sekitar Rp 25,86 triliun.
Margin bunga bersih UOB meningkat 40 basis poin didukung oleh kenaikan suku bunga dan pertumbuhan pinjaman sebesar 6%. Peningkatan pendapatan bunga bersih ini lebih dari mengimbangi penurunan 10% dalam pendapatan provisi dan komisi bersih.
Fajar Dwi Alfian, Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori mengatakan, secara umum, kenaikan profit emiten bank domestik, dipengaruhi oleh siklus perekonomian dalam negeri dimana pada tahun ini, Indonesia memasuki fase awal pemulihan ekonomi, pasca hantaman pandemi.
"Di beberapa negara Asia Tenggara lainnya juga mengalami hal yang sama, namun tidak semua, karena ada beberapa negara yang sudah pulih lebih dahulu," kata Fajar kepada kontan.co.id, Jumat (30/12).
Fajar memproyeksikan, di tahun depan, masih akan tumbuh positif. Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan kredit masih di kisaran 10%-12%.
Namun demikian, dengan sudah naiknya suku bunga BI dan kondisi likuiditas yang ketat pada tahun depan, maka persaingan bank untuk memperebutkan dana pihak ketiga juga akan semakin sengit, dimana bisa menekan margin bunga bank bersih.
Sementara untuk emiten bank-bank besar yang mempunyai likuiditas melimpah dan rasio kecukupan modal yang baik, diperkirakan justru akan bedampak positif dari efek kenaikan suku bunga BI, yaitu naiknya margin bunga bersih mereka.
"Untuk prospek sahamnya BBRI dan BBCA masih cukup menarik untuk dikoleksi. BBRI mendapat sentimen perpanjangan restrukturisasi kredit UMKM sehingga berdampak kepada menunrunnya beban CKPN," ujarnya.
Sementara Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan menyebut, kinerja perbankan tumbuh luar biasa tahun ini lantaran pandemi Covid-19 mereda dan adanya berbagai stimulus yang diberikan pemerintah untuk menggerakkan ekonomi.
Namun, ia memperkirakan pertumbuhan kinerja perbankan tahun depan tak akan setinggi tahun ini. Pasalnya, ada berbagai tantangan yang dihadapi, seperti kenaikan suku bunga dan dan gejolak ekonomi global.
"Suku bunga The Fed masih akan naik sehingga BI akan melakukan penyesuaian rate-nya yang kemungkinan bisa menuju 6%-7% tahun depan yang akan menekan ekonomi domestik. Pertumbuhan kinerja perbankan kemungkinan tidak akan lebih dari 10% tahun depan," kata Trioksa.
Meskipun bank-bank besar memasang target kredit optimis dua digit, ia melihat tantangan untuk mencapai itu berat sehingga berpotensi direvisi di tengah tahun. Selain menekan permintaan kredit, kenaikan suku bunga menurutnya juga bisa menekan kualitas aset. Oleh karena itu, bank harus mengantisipasi itu yakni dengan meningkatkan efisiensi agar kenaikan bunga kredit bisa ditahan.
Adapun bank yang punya potensi tumbuh paling tinggi menurut Trioksa adalah BCA dan BRI. Ia melihat BCA punya keunggulan karena kuat dari sisi fundamental ritel dan dari sisi transformasi digital. Sedangkan BRI memiliki sumber pertumbuhan baru dari holding ultra mikro dan permodalan yang sangat kuat.
Baca Juga: Bank Rakyat Indonesia (BBRI) Tebar Dividen Interim, Simak Besaran dan Jadwalnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News