Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mulai menyidangkan gugatan perdata PT Elnusa Tbk atas Bank Mega. Pada sidang perdana kemarin (7/6), Syamsul Edy, ketua majelis hakim dalam perkara ini, mempersilakan kedua pihak menggelar mediasi. Jika keduanya sepakat berdamai, maka proses gugatan otomatis berhenti.
Dodi Abdulkadir, Kuasa Hukum Elnusa, mengajukan dua tuntutan dalam mediasi ini. Pertama, Bank Mega mengakui penempatan dana Elnusa berupa deposito berjangka, bukan deposito on call seperti yang diperdebatkan selama ini. Kedua, Bank Mega mengembalikan seluruh dana Elnusa berikut bunga.
PN Jakarta Selatan akan menggelar sidang pada Rabu pekan mendatang (15/6). Selama masa tenggat ini, Elnusa mengaku membuka kemungkinan pembicaraan perdamaian. "Kita (Elnusa) dan Bank Mega mengharapkan pada pertemuan selanjutnya sudah bisa melangkah pada tahap yang lebih konkret," kata Dodi, Selasa (7/6).
Eric Pontoh, Kuasa Hukum Bank Mega, menyatakan, pihaknya membuka diri untuk berdamai. Tapi, sejauh ini, ia menolak mengomentari tuntutan Elnusa. Alasannya, konsep kesepakatan masih dibahas pihak manajemen Bank Mega. "Intinya semua pihak dalam masa mediasi pasti menginginkan perdamaian diluar sidang," sambung Eric.
Seperti diketahui, Elnusa menggugat Bank Mega terkait raibnya dana Rp 111 miliar. Banyak pihak menggangsir uang itu. Kepolisian Polda Metro Jaya telah menetapkan dan menahan enam orang tersangka. Dua di antaranya berasal dari perusahaan yang kini bersengketa, yakni Itman Harry Basuki, Kepala Cabang Bank Mega Bekasi Jababeka, dan Santun Nainggolan, Direktur Keuangan Elnusa.
Nota perdamaian
Ricardo Simanjuntak, praktisi hukum menilai, dalam perkara ini, pihak tergugat atau Bank Mega bisa saja mengajukan solusi berupa ganti rugi secara tanggung renteng. Pertimbangannya, petinggi Elnusa, yaitu Santun diduga terlibat. "Tidak tertutup kemungkinan hal itu. Semua bisa terjadi. Karena perdamaian tidak saling menjatuhkan," terang Ricardo.
Jika terjadi perdamaian, kedua pihak sama-sama membuat perjanjian perdamaian dan harus mematuhi nota tersebut. Kesepakatan perdamaian tidak membicarakan siapa yang salah dan benar. "Perdamaian bisa berarti sama-sama tidak rugi dan sama-sama rugi," ujar Ricardo.
Proses mediasi diatur di Hukum Acara Perdata atau Het Herziene Indonesische Reglement (HIR) dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 1 tahun 2008.
Kedua beleid ini memiliki perbedaan dalam menetapkan batas waktu negosiasi. Jika mengacu pasal 130 HIR, maka kesempatan berdamai sangat bergantung para pihak. Sementara dalam Perma, pengadilan membatasi proses mediasi maksimal 40 hari. "Jika tidak tercipta perdamaian, dalam batas waktu yang telah ditentukan atau bahkan sebelumnya, proses persidangan pun dilanjutkan," pungkas Ricardo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News