Reporter: Aulia Ivanka Rahmana | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - NUSA DUA. Ancaman keamanan siber di sektor sistem pembayaran kian kompleks seiring percepatan digitalisasi dan kemajuan teknologi. Tak hanya serangan berbasis kecerdasan buatan (AI), kemunculan quantum computing juga diperkirakan akan menjadi tantangan baru bagi keamanan data dan transaksi keuangan global.
Isu ini mengemuka dalam forum Prima Executive Gathering 2025 bertema Beyond Resilience: Accelerating Impact Progressive Growth yang digelar oleh PT Rintis Sejahtera di Nusa Dua, Bali, Kamis (23/10/2025).
Forum tahunan tersebut menjadi ajang kolaborasi antara regulator, asosiasi, dan pelaku industri sistem pembayaran untuk memperkuat ketahanan siber serta mendukung pertumbuhan berkelanjutan di ekosistem pembayaran nasional.
Baca Juga: KSTI 2025 Dorong Kolaborasi Peneliti dan Industri untuk Pemerataan Ekonomi Indonesia
Senior Vice President, Head of Asia Pacific Fime Consulting Hong Kong, James Daniels, mengungkapkan bahwa serangan siber kini berkembang jauh lebih cepat dan lebih canggih dibanding sebelumnya.
Ia menilai, pelaku kejahatan digital mulai memanfaatkan teknologi AI dan identitas palsu (synthetic ID) untuk menembus sistem keamanan tradisional.
“Serangan siber kini jauh lebih canggih. Kami melihat pelaku mulai memanfaatkan AI dan data palsu untuk menembus sistem keamanan yang masih tradisional,” ujar James.
Ia menekankan bahwa pendekatan keamanan berbasis kepatuhan sudah tidak lagi memadai. Industri harus membangun sistem yang tangguh dan mampu pulih dengan cepat ketika serangan terjadi.
“Tidak ada sistem yang benar-benar kebal terhadap serangan, tetapi sistem yang kuat adalah yang mampu mempertahankan kepercayaan publik meskipun sempat terdampak,” tambahnya.
Baca Juga: Equnix Luncurkan Solusi Key Management yang Quantum-Proof
James juga menyoroti pentingnya ketahanan nasional terhadap risiko siber dan geopolitik. Ia mencontohkan langkah cepat Ukraina dalam menyesuaikan strategi pembayaran selama masa perang.
“Ukraina bekerja sama dengan dunia ritel, apotek, dan SPBU untuk mengurangi ketergantungan pada uang tunai di daerah krisis,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Neil McEvoy, Vice President Special Projects Fime Consulting United Kingdom, menilai bahwa ancaman masa depan tak hanya berasal dari pelaku kejahatan konvensional, tetapi juga dari evolusi teknologi itu sendiri.
Menurutnya, quantum computing berpotensi menembus algoritma enkripsi yang selama ini menjadi fondasi keamanan digital.
“Komputer kuantum akan mampu memecahkan kode enkripsi yang selama ini melindungi transaksi keuangan. Karena itu, industri harus mulai memikirkan penerapan enkripsi pasca-kuantum sejak sekarang,” ujarnya.
Neil menambahkan, kesiapan ekosistem menjadi kunci menjaga cyber resilience di tengah percepatan inovasi digital.
Ia menegaskan perlunya kolaborasi antara regulator, bank, dan penyedia jasa pembayaran untuk menciptakan standar keamanan bersama dan memastikan proses pemulihan berjalan cepat saat terjadi serangan.
Baca Juga: Permintaan Solusi Keamanan Siber Meningkat, Pasar RI Berpotensi Tumbuh Pesat
Pandangan ini sejalan dengan langkah Bank Indonesia (BI) yang menilai risiko siber semakin meningkat seiring lonjakan transaksi digital di Tanah Air.
Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta mengatakan, potensi fraud dan serangan siber menjadi perhatian utama regulator di tengah percepatan digitalisasi.
“Kejahatan fraud dan serangan cyber menjadi perhatian utama. Data IMF dan FBI memperkirakan kerugian global akibat kejahatan cyber meningkat dari US$ 8,44 triliun pada 2022 menjadi US$ 23,84 triliun pada 2027,” ungkap Filianingsih.
Ia menjelaskan, serangan siber kini semakin beragam, mulai dari middleware attack, account takeover, synthetic ID, hingga deepfake dan phishing berbasis AI. Besarnya volume transaksi digital juga memperbesar tantangan dalam mendeteksi aktivitas mencurigakan, sementara kemampuan pengelolaan risiko di industri masih belum merata.
Untuk memitigasi risiko tersebut, BI mendorong pelaku industri sistem pembayaran memperkuat penerapan prinsip Know Your Customer (KYC), Know Your Merchant (KYM), sistem deteksi fraud, dan strong authentication.
Baca Juga: Dibayangi Deindustrilisasi, Industri TPT Menanti Kebijakan Pemerintah
Selain itu, BI menekankan pentingnya peningkatan literasi digital di masyarakat sebagai faktor utama dalam menjaga kepercayaan terhadap ekosistem pembayaran digital. “Kolaborasi regulator, pelaku industri, dan masyarakat dibutuhkan agar transformasi digital berjalan aman dan inklusif,” ujarnya.
BI berharap penguatan keamanan dan tata kelola ini dapat menjaga stabilitas serta keandalan sistem pembayaran nasional di tengah pesatnya inovasi teknologi. Upaya ini juga mencakup sinergi dalam memperkuat literasi digital, perlindungan data pribadi, dan perlindungan konsumen.
“BI bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) akan melakukan sharing atas kasus-kasus aktual agar seluruh pihak memahami perkembangan terkini dan dapat mengantisipasi risiko dengan tepat,” tutup Filianingsih.
Selanjutnya: Kebut Target Penerimaan Pajak Prioritas, Purbaya Pastikan Tak Pakai Gaya Preman
Menarik Dibaca: Spesifikasi iQOO Z10R Gadget Harga 3 Jutaan yang Punya Star SGS Drop Resistance
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News