kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini penyebab kredit perbankan belum maksimal, meski CAR tebal


Minggu, 05 Mei 2019 / 17:16 WIB
Ini penyebab kredit perbankan belum maksimal, meski CAR tebal


Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) sampai kuartal pertama 2019 masih sangat tebal. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per Maret 2019 posisi CAR masih ada di level 23,97%.

Posisi tersebut meningkat dibandingkan Maret 2018 sebesar 23,32%. Meski relatif besar, pertumbuhan kredit di Tanah Air masih dinilai belum maksimal walau sudah naik 11,55% secara year on year (yoy) di kuartal pertama tahun ini.

Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Erwin Rijanto, dibandingkan dengan negara-negara di dunia CAR perbankan di Indonesia memang sangat tinggi. "CAR itu rata-rata sekitar 14% tapi kalau kita 22%-23%. Itu tinggi sekali," ujarnya di Jakarta, Jumat (3/5).

Menurut bank sentral, dari segi ketahanan jumlah modal yang besar sangat baik. Namun di sisi lain, hal ini berarti perbankan belum bisa memanfaatkan modal secara maksimal.

BI memandang, hal tersebut disebabkan karena ketatnya likuiditas di pasar keuangan saat ini. Meski begitu, Erwin memastikan kalau Bank Sentral akan memastikan dan menjaga kondisi pasar uang tetap stabil.

"Kita membuka juga opsi untuk bank yang butuh likuiditas bisa ambil di kita, bisa Repo. Harapannya, bank bisa memanfaatkan hal ini untuk liquidity management," sambungnya.

Di sisi lain, Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI, anggota indeks Kompas100 ini) Haru Koesmahargyo menyebutkan penyebab belum maksimalnya kredit perbankan antara lain pertumbuhan laba bersih perbankan saat ini relatif besar. Hal ini praktis membuat ruang pemupukan modal perbankan semakin terbuka.

Sementara di sisi lain, modal yang semakin tebal tersebut tidak berjalan secepat penyaluran kredit. "Artinya laba bersih yang diperoleh tidak diinvestasikan dalam kecepatan yang sama, jadi modalnya menumpuk makin tinggi," katanya saat ditemui di Jakarta, Jumat (3/5).

Sama seperti Erwin, isu utama yang membuat bank sulit menyalurkan kredit menurut Haru yakni terbatasnya likuiditas. Walau demikian, Ia memandang saat ini ada banyak alternatif yang bisa diambil oleh bank untuk menjaga likuiditas.

Tak hanya dari pasar dalam negeri, perbankan juga bisa menggali dana di pasar luar negeri lewat penerbitan obligasi global (global bond).

Memang, pada akhir Maret 2019 lalu BRI telah menerbitkan global sustainability bond senilai US$ 500 juta. Dana tersebut dipakai perseroan untuk memenuhi likuiditas.

"Pasar global itu masih sangat besar ada 110 ribu triliun dan BRI baru sekitar 7 triliun, artinya masih terbuka. Tapi harus dicari swapnya, kalau investasinya dolar ya bisa, tapi kalau mencari Rupiah ya harus di swap," sambungnya.

Sebagai gambaran saja, per kuartal I 2019 total CAR BRI masih tebal di posisi 21,91% meningkat dari tahun sebelumnya 20,75%. Di sisi lain, rasio likuiditas atau loan to deposit ratio (LDR) perseroan berada di posisi 91,39% pada periode yang sama.

Dari sisi fungsi intermediasi, total penyaluran kredit BRI tercatat sebesar Rp 855,46 triliun atau naik 12,9% secara year on year (yoy). Adapun, total penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) meningkat 13,2% di kuartal pertama menjadi sebesar Rp 936,02 triliun.

Haru menjelaskan, tahun ini pihaknya memasang target kredit sebesar 12%-14%. Sementara level CAR yang ideal bagi BRI menurutnya yakni di level 20%. "Isu perbankan masih likuiditas, dalam tiga tahun terakhir relatif tinggi (rasio likuiditas), tapi kita harus cari alternatif pendanaan," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×