Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kisruh di industri asuransi terkait penjaminan polis asuransi santer dibicarakan dalam beberapa waktu belakangan. Bahkan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebut bahwa ada kemungkinan fungsi LPS diperluas untuk menjamin polis asuransi.
Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) memang telah lama mengusulkan kepada pemerintah untuk segera mempercepat pembentukan Lembaga Penjamin Polis. AAJI mengusulkan, pemerintah membuat Rancangan Undang-Undang untuk mengatur hal tersebut, salah satunya adalah memasukkan rancangan LPP ke dalam revisi UU yang mengatur LPS (Lembaga Penjamin Simpanan).
Direktur Eksekutif AAJI, Togar Pasaribu, mengatakan, meskipun LPP masuk ke dalam ranah LPS agar dalam pelaksanaannya lebih fair maka AAJI mengusulkan agar dana LPS yang terkumpul dari perbankan harus dipisahkan. Hal ini dikarenakan nature bisnis yang dijalankan perbankan dan asuransi memiliki perbedaan.
Terlebih kata Togar dari sisi operasional, biaya yang harus dikeluarkan juga dapat dihemat mulai dari kantor baru, rekrutmen, dan lainnya. Sehingga biaya operasionalnya relatif sudah di-cover LPS. Meski demikian, dalam pelaksanaannya nanti LPS harus memiliki aktuaris dan orang-orang yang jago dalam hal kurator sehingga jika terjadi kebangkrutan itu betul-betul prosesnya dijalankan dengan benar.
Baca Juga: Ada Desakan Pembentukan Lembaga Penjamin Polis Asuransi, Ini Kata AAJI
“Tentu saja ada aturan yang bisa kita usulkan artinya dana yang sudah terkumpul dari perbankan jangan disatukan dengan yang asuransi supaya fair,” kata Togar kepada kontan.co.id.
Togar menyebut, pembentukan LPPP ini memberi kemudahan bagi pemerintah untuk melakukan pengaturan kepada perusahaan asuransi. Seperti saat akan melakukan penutupan perusahaan asuransi yang bermasalah tentu lebih mudah karena sudah ada Lembaga Penjamin Pemegang Polis.
Beda halnya dengan yang terjadi saat ini, untuk menutup perusahaan asuransi yang bermasalah pemerintah harus mempertimbangkan banyak hal, mulai dari dampak carrying forward-nya, liability-nya hingga dampak lainnya.
“Kami usulkan dalam LPPP ini, pertama adalah dari sisi pemerintah akan lebih easy dalam hal pengambilan tindakan. Yang kedua, tidak seperti LPS, bank ditutup, keluarin uang untuk mengganti dana pihak ketiga, tidak seperti itu.
LPPP itu bisa berfungsi sebagai mediator, yakni polis-polis yang menjadi portofolio sehat dari perusahaan asuransi yang mau tutup atau bangkrut itu bisa di-switch ke perusahaan asuransi lainnya. Jadi tidak ada dana yang dikeluarkan oleh lembaga itu,” jelasnya.
Sebagaimana terkandung dalam UU Nomor 40 tahun 2014 ini disebutkan bahwa semua perusahaan asuransi wajib untuk menjadi anggota LPP. Padahal, saat ini masih ada perusahaan-perusahaan asuransi yang bermasalah dan memiliki masalah yang berat, sehingga sangat tidak memungkinkan jika LPP ini dibentuk saat ini akan membebani LPP nantinya.
“Ini yang mungkin membuat, pemerintah maju mundur untuk membuat LPP. Karena seperti diketahui, bahwa saat ini ada beberapa perusahaan asuransi yang bermasalah dan masalahnya juga tidak kecil. Jadi kalau perusahaan bermasalah ini dimasukkan ke dalam Lembaga Penjamin Pemegang Polis, maka LPP-nya langsung akan bangkrut," ujar Togar.
Menurut Togar, harus ada aturan tertentu dalam UU yang baru. Ia mengusulkan, dalam 3 tahun berturut-turut perusahaan yang menjadi anggota itu harus profit, RBC di atas 120%. Selain itu, menetapkan iuran berdasarkan risiko dari perusahaan tersebut. Kalau perusahaan itu punya produk yang risikonya tinggi, maka iurannya lebih mahal.
Selain itu, Togar juga mengusulkan agar premi iuran juga dihitung dari Modal Minimum Berbasis Risiko (MMBR). Intinya, semakin berisiko, semakin besar pula iuran premi yang dibayarkan kepada lembaga penjamin polis.
Baca Juga: AAJI: LAPS SJK Saluran Resmi dan Independen Penyelesaian Masalah Asuransi
Dalam kajiannya dengan pemerintah, Togar mengungkapkan bahwa AAJI sudah memberikan banyak usulan yang cukup komprehensif. Bahkan kajian dari studi ke beberapa negara juga telah disampaikan. Beberapa negara yang juga sudah menerapkan LPP antara lain dari Kanada, Hongkong, Thailand, dan Malaysia.
Menurutnya, keberadaan lembaga ini sangat membantu sebagai salah satu alat check & balance sehingga perusahaan asuransi tidak sembarangan membuat dan menjual produk yang tidak wajar. Mereka tidak meng-cover manfaat investasi, hanya manfaat proteksi saja.
Togar mencontohkan, di Kanada jika perusahaan asuransi itu bangkrut maka aset perusahaan itu akan disita oleh yang berwajib atau pihak kepolisian. Hal itu pula yang menjadi salah satu poin yang diusulkan AAJI kepada pemerintah agar dalam proses pembentukan LPP harus memiliki agreement dengan pihak kepolisian, kejaksaan, KPK dan lainnya.
“Sehingga jika terjadi kebangkrutan, semua aset perusahaan tersebut disita sehingga tidak ada aset yang berpindah tangan. LPP di negara lainnya seperti Thailand, Hongkong, dan Malaysia ada kemiripan hanya saja dari kebijakan penyitaan aset itu saja yang membedakannya,” pungkas Togar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News