kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Investor Asal Singapura Makin Menancapkan Kuku di Perbankan Indonesia


Jumat, 21 Januari 2022 / 19:21 WIB
Investor Asal Singapura Makin Menancapkan Kuku di Perbankan Indonesia
ILUSTRASI. Investor asal Singapura semisal, kian gencar memburu saham-saham bank kecil di Indonesia.


Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investor asing makin kepincut dengan perbankan Indonesia. Investor asal Singapura semisal, kian gencar memburu saham-saham bank kecil di Indonesia. 

Terbaru ada Singapore Telecommunications (Singtel) dan perusahaan ride hailing-to-payment Grab Holdings Ltd mengejar peluang bisnis perbankan di Indonesia. Dua investor kakap itu masing-masing telah membeli 16,3% saham PT Bank Fama International dari PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK). 

Singtel membayar tunai sebesar Rp 500 miliar atau sekitar S$ 48 juta untuk akuisisi saham Bank Fama tersebut. Singtel berharap investasinya ini akan mengembangkan proposisi perbankan digital Fama dan mendorong inklusi keuangan yang lebih besar ke depannya.

Sebelumnya, investor Singapura lainnya, Sovereign Wealth Fund asal Singapura, GIC Private Limited, sudah jadi pemegang saham PT Bank Jago Tbk (ARTO). GIC telah menggenggam 8,08% saham ARTO pasca bank ini menyelesaikan penawaran terbatas dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) alias rights issue pada Maret 2021.

Tak mau ketinggalan, Sea Group juga telah mengakuisisi PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (Bank BKE). Lalu, Sea Group mengonversi menjadi bank digital dan mengganti nama menjadi Seabank Indonesia.

Baca Juga: Singtel Beli 16,3% Saham Bank Fama Senilai Rp 500 Miliar

Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin melihat, alasan investor Singapura tertarik dengan perbankan di Indonesia karena cepat balik modal. Juga secara profitabilitas lebih tinggi yang terukur dari indikator keuangan seperti net interest margin (NIM), return on asset, return equity, maupun beban operasional terhadap pendapatan operasional. 

“Selain itu, kemudahan dalam investasi dan apalagi persyaratan untuk investor di perbankan tidak seketat di negara lain. Bahkan Singapura sendiri lebih ketat dari Indonesia,” ujar Amin kepada Kontan.co.id pada Jumat (21/1). 

Ia memprediksi, persaingan di antara bank digital di Indonesia di masa yang akan datang akan lebih seru. Apalagi banyak investor asing yang berusaha masuk, ditambah dengan adanya minat beberapa konglomerat lokal untuk berinvestasi di bank bank digital.

“Jika kita melihat industri perbankan, maka peta persaingan akan terjadi antar bank konvensional, antar bank konvensional dan bank syariah, antar bank dengan fintech, dan antar bank konvensional, syariah, fintech dengan bank digital,” paparnya. 

Mereka akan memacu meningkatkan layanan dan membuat produk dan layanan yang terbaik untuk memenangkan persaingan. Sehingga, nasabah dan masyarakat konsumen diberikan banyak pilihan untuk menetapkan bertransaksi dan menjadi bagian yang mana dari industri yang ada dan berkembang tersebut. 

Amin melihat masuknya bigtech ke perbankan lokal, akan berdampak positif bagi perbankan lokal. Tak hanya persaingan, tapi juga akan ada transfer teknologi dan pengetahuan dari mereka untuk perbankan Indonesia dan ini akan bagus untuk menjadikan industri perbankan dan keuangan Indonesia menjadi lebih baik ke depan.

Baca Juga: Aksi Merger dan Akuisisi Bank Masih akan Marak




TERBARU

[X]
×