kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Jalan panjang menyisir tumpukan kartu


Rabu, 19 Desember 2012 / 11:18 WIB
Jalan panjang menyisir tumpukan kartu
ILUSTRASI. Bongkar muat batubara dari kapal ke truk pengangkut di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara, Rabu (11/3). KONTAN/Cheppy A. Muchlis/11/03/2015


Reporter: Dian Pitaloka Saraswati, Raymond Reynaldi, Arief Ardiansyah | Editor: Imanuel Alexander

JAKARTA. Dua kali sudah Wulandari menerima surat elektronik (e-mail) dari sebuah bank asing yang beroperasi di Indonesia. Pertama, pada akhir Agustus lalu. Kedua, pada awal Oktober 2012. Surat elektronik itu berjudul “Penting! Pembaruan data pemegang kartu kredit”.

Isinya, meminta perempuan yang bekerja di suatu perusahaan ritel di Jakarta itu mengirimkan fotokopi dokumen Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) miliknya ke bank.

Namun, Wulandari tak pernah menggubris permintaan itu dan tidak pernah membalas email tersebut. “Saya repot kalau harus memfotokopi NPWP.

Lagipula saya tidak begitu suka kalau harus memberitahukan gaji dan semua harta,” kata perempuan berusia 37 tahun itu. Mungkin, tak hanya Wulandari yang “bertingkah” seperti itu.

Hal ini terbukti dari keluhan sejumlah bankir yang mengaku kerepotan mendata ulang para nasabah pemegang kartu kredit. Padahal, data itu dibutuhkan bank untuk memperbarui profil si pemegang kartu kredit sekaligus menyisir jumlah kepemilikan
kartunya.

Hajatan mendata ulang para pemegang kartu kredit itu merupakan amanat Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dirilis 6 Januari 2012. Intisarinya, pemegang kartu kredit yang berpendapatan di bawah Rp 10 juta tiap bulan hanya boleh memegang maksimal dua kartu kredit dari dua bank penerbit.

Selain itu, plafon kartu kredit bagi golongan ini dibatasi maksimal tiga kali gaji, dengan maksimal denda Rp 150.000. Peraturan ini bertujuan meningkatkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko pemberian kredit melalui kartu kredit. Penerbit diberikan tenggat waktu selama dua tahun sejak 1 Januari 2013 untuk menyesuaikan pemilikan kartu kredit para nasabahnya.

Namun, di lapangan, tak mudah bagi bank melakukan hal tersebut. Kostaman Thayib, Business Development Director Bank Mega menyatakan, mereka masih terus melakukan pendataan ulang terhadap sekitar 1,65 juta pemegang kartu kreditnya. Bagi pemohon kartu kredit baru, bank penerbit lebih mudah menerapkan aturan baru BI tersebut. “Tapi untuk yang lama susah, kami harus
data lagi,” katanya.

Setali tiga uang dengan Bank Central Asia (BCA). General Manager Kartu Kredit BCA, Santoso, bilang, ada banyak aspek yang mempengaruhi kelancaran penyesuaian kepemilikan kartu kredit. Bank harus mencocokkan data awal nasabah saat membuka kartu kredit dengan data terkini. Bisa saja, saat membuka kartu kredit dulu penghasilannya masih di bawah Rp 10 juta, tapi sekarang sudah di atas jumlah itu.

Selain itu, lanjut Santoso, sebagian nasabah cenderung keberatan mengungkapkan pendapatan mereka ke bank. “Bagaimanapun, angka penghasilan seseorang itu tergolong rahasia pribadi,” imbuhnya. Direktur Konsumer BCA Henry Koenaifi menimpali, salah satu kendala pengelompokan nasabah berbasiskan gaji adalah data. Selama ini, banyak pekerja sektor informal yang
sudah akrab dengan kartu kredit, tapi tidak memiliki slip gaji.

Sedangkan bank tidak terlalu mempersoalkan profi l nasabah seperti itu. Pemegang kartu semakin bonafi de jika aktif menggesek kartu kreditnya. Jadi, “Kenapa harus dibunuh kartunya,” tukasnya.

Jika BCA dan Bank Mega masih berjibaku mengurus data nasabahnya, Bank OCBC NISP mengaku tidak kesulitan melakukannya. Maklum, dengan jumlah kartu beredar sekitar 70.000 kartu jenis Platinum dan Titanium, OCBC NISP tidak sulit
melacak para pemegangnya.

Maklum, menurut Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur OCBC NISP, mereka selama ini fokus mengakuisisi nasabah yang berpenghasilan di atas Rp 10 juta per bulan.

Begitu pula dengan Citibank. Bank asal Amerika Serikat ini masih sibuk mempersiapkan penerapan aturan baru BI itu terhadap 1,5 juta kartu Citibank yang beredar saat ini. “Umumnya nasabah kartu kredit pada segmen emerging affl uent dan affl uent atau menengah ke atas memiliki lebih dari dua kartu kredit,” kata Suparman Kusuma, Cards and Loan Head Citi Indonesia.

Mekanisme pemilahan

Steve Marta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), menilai proses penyisiran data nasabah hingga penutupan sebagian kartu kredit butuh waktu dan sumberdaya manusia (SDM) yang besar. Bank malah berharap pada nasabah
untuk pro-aktif mengurusi kelebihan kartu kredit.

Sebab, hanya nasabah sendiri yang mengetahui profil kartu kredit yang optimal untuk kegiatan transaksinya sehari-hari. “Nasabah juga harus jujur. Jangan diam saja,” tandas Steve. Saat ini, 20 penerbit kartu kredit yang menjadi anggota AKKI telah sepakat menyerahkan kepada nasabah dalam menentukan kartu kredit yang ingin digunakan dan ditutup.

Masalahnya, belum tentu semua nasabah bersedia menyeleksi dan menutup sendiri kartu kredit miliknya. Di sisi lain, bank juga tidak mau begitu saja menutup kartu kredit para nasabahnya karena bakal mengurangi pendapatan bunga dan nonbunga (fee based income).

Menurut Kostaman, proses negosiasi antarbank penerbit untuk menentukan penutupan kartu kredit menjadi daerah abu-abu. “Perlu diskusi dan koordinasi,” imbuhnya. Jika tidak tercapai kompromi di antara bank, tentu diperlukan adanya aturan-aturan lain.

Masalah inilah yang diwadahi oleh BI dengan merilis Surat Edaran No. 14/27/DASP perihal Mekanisme Penyesuaian Kepemilikan Kartu Kredit pada 25 September lalu. Dengan tegas, BI memberi amanat kepada AKKI untuk mengompilasi hasil identifikasi data pemilik kartu yang disetorkan oleh semua bank penerbit. Lalu, dilakukan pemilahan berdasarkan kriteria batas minimum usia, batas pendapatan tiap bulan, batas plafon kredit, dan batas maksimum jumlah penerbit kartu kredit.

AKKI kemudian menyampaikan secara tertulis hasil identifikasi dan pemilahan tersebut kepada seluruh bank penerbit. Selanjutnya, tugas bank memutuskan penutupan kartu kredit tersebut. Terutama, kepada pemegang kartu kredit dengan status kredit macet, diragukan atau kurang lancar.

Jika si nasabah berpenghasilan di bawah Rp 10 juta itu tidak melanggar semua kriteria yang ditentukan BI namun masih memiliki lebih dari dua kartu kredit, bank penerbit mempersilakan si nasabah untuk memilih kartu kredit yang mau digunakan dan ditutup.

Namun, bila si nasabah tidak jua memilih dan proses negosiasi dengan bank penerbit menemui jalan buntu, maka mereka bisa mengajukan permohonan konsultasi kepada BI. Pengajuan konsultasi ini melalui koordinasi dengan AKKI.

Suparman menyatakan, Citibank akan mematuhi tahapan penyesuaian kepemilikan kartu kredit yang sudah diatur oleh BI. Contohnya, jika seluruh kartu kredit seorang nasabah memiliki kualitas kredit sama maka penutupan kartu kredit diprioritaskan terhadap kartu kredit yang terakhir diperoleh oleh si pemegang kartu itu.

Dia pun optimistis mekanisme pembatasan kepemilikan kartu kredit akan berjalan baik. Melalui sosialisasi dan komunikasi yang baik dengan para nasabah dan bank lain, maka dapat mempermudah dan memperlancar proses penerapan aturan baru BI tersebut.

Komitmen bekerjasama dengan nasabah dan bank lain untuk melakukan penyesuaian kepemilikan kartu kredit juga dicetuskan oleh Executive Vice President Card Businnes Head Bank Danamon, Dessy Masri. “Industri akan bersama-sama melakukan kontrol,” katanya.

Meski begitu, AKKI mengharapkan regulator turut aktif menyosialisasikan ketentuan batasan kartu berdasarkan jumlah penghasilan tersebut. Sebab, menurut Steve, ketentuan ini bakal kurang efektif tanpa keterlibatan regulator. Jika BI maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nanti mau berperan aktif maka bisa menghasilkan solusi untuk penyelesaian kelebihan pemilikan kartu kredit. Sebab, sejatinya, “Tidak ada bank yang mau menutup akun kartu kreditnya,” tukasnya.

Namun, Ronald Waas, Deputi Gubernur BI menyatakan, prinsipnya semua keputusan diserahkan pada konsumen. “Tetapi bila mereka bingung memutuskan, kami siap memberikan jasa konsultasi,” imbuhnya.

Yang jelas, Henry Koenaifi melihat mekanisme penyesuaian kepemilikan kartu kredit ini baru akan benar-benar berjalan antara AKKI dan para bank penerbit pada pertengahan tahun depan. Selanjutnya, berdasarkan hitungan AKKI, kebijakan BI itu akan menyusutkan jumlah kartu kredit yang beredar sekitar 20% dari saat ini 15,43 juta kartu menjadi sekitar 12 juta hingga 12,5 juta kartu.

“Perkiraan kami dalam satu sampai dua tahun nanti jumlahnya akan menyusut,” ujar Steve. Padahal, sejatinya, pertumbuhan jumlah kartu kredit selama ini berjalan lambat. Lihat saja, dalam dua tahun terakhir ini jumlah kartu kredit cuma tumbuh sekitar 9%-10%.

Toh, semua bank penerbit kartu kredit mau tak mau harus bersama-sama menjalankan kebijakan BI tersebut. “Jangan melihat ke belakang karena jadinya akan rumit,” kata Henry, bertamsil.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 12 - XVII, 2012 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×