kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ketua SWI: Jangan Terlibat Pinjol Ilegal, Sangat Berbahaya!


Senin, 21 November 2022 / 21:55 WIB
Ketua SWI: Jangan Terlibat Pinjol Ilegal, Sangat Berbahaya!


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Fintech peer-to-peer lending atau biasa disebut pinjaman online (pinjol) saat ini sudah berkembang pesat. Per September 2022, sudah ada 102 perusahaan fintech P2P lending yang berizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK mencatat 960.360 entitas lender (jumlah akumulasi rekening), 90.211.983 entitas borrower (jumlah akumulasi rekening), dan Rp 455 triliun total penyaluran nasional (outstanding Rp 48.64 triliun).

"Pinjaman online sebagai inovasi keuangan digital dibutuhkan oleh masyarakat untuk menjembatani kebutuhan dana masyarakat yang tidak bisa dilayani sektor keuangan formal seperti bank dan pergadaian," kata Tongam L. Tobing, Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK dan Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) dalam sosialisasi di IPB University Bogor, Senin (21/11).

Meskipun pinjol yang legal dan terdaftar di OJK sudah berkembang pesat, masih saja terjadi kemunculan pinjol ilegal yang merugikan masyarakat. Tongam menyebut akan berbahaya jika masyarakat terlibat di pinjol ilegal.

OJK mencatat, di tahun 2022 ini, ada 97 investasi ilegal, 619 pinjol ilegal, dan 82 gadai ilegal. Kerugian masyarakat dari tahun 2018-2022 mencapai Rp 123,51 triliun.

Baca Juga: Nilai Transaksi Bruto Bisnis Fintech GoTo Capai Rp 97,1 Triliun pada Kuartal III

“Kasus penipuan tidak akan bisa hilang, karena ada yang menipu dan yang ditipu. Sepanjang ada yang ditipu, maka penipu akan berkeliaran," ujarnya.

Tongam mengatakan, maraknya pinjol ilegal saat bisa dilihat dari sisi pelaku pinjol ilegal dan masyarakat. Dari sisi pelaku pinjol ilegal, kemudahan mengunggah aplikasi atau website. Selain itu, kesulitan pemberantasan dikarenakan lokasi server banyak ditempatkan di luar negeri.

Dari sisi masyarakat sebagai korban, Tongam menyebut tingkat literasi masyarakat memang masih rendah. Itu bisa dilihat dari korban yang tidak melakukan pengecekan legalitas dan terbatasnya pemahaman terhadap pinjol. Selain tingkat literasi, kebutuhan mendesak karena kesulitan keuangan menjadi penyebab maraknya pinjol ilegal dari sisi masyarakat.

Tongam menjelaskan, SWI mempunyai upaya pencegahan di antaranya edukasi kepada masyarakat yang luas, iklan layanan masyarakat, dan penyebaran SMS waspada pinjol ilegal via 7 operator.

Dari sisi penanganan, SWI melakukan rapat koordinasi, pengumuman pinjol ilegal kepada masyarakat, laporan informasi kepada Bareskrim Polri, dan lain-lain.

Tongam juga membeberkan ciri-ciri pinjol ilegal, seperti tidak memiliki izin resmi, pemberian "pinjaman" yang sangat mudah, akses seluruh data di ponsel, ancaman teror dan penghinaan, dan lain-lain.

Kementerian atau Lembaga memiliki peran yang penting dalam penanganan pinjol ilegal. Tongam bilang, Kementerian Komunikasi dan Informatika berperan untuk cyber patrol dan pemblokiran. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah berperan untuk membina Koperasi Simpan Pinjam (KSP). OJK dan Bank Indonesia berperan sebagai pembinaan aggregator dan penguatan KYC Bank dan PJP. Terakhir, Polri berperan di sektor penegakan hukum.

Baca Juga: Ketua SWI Beberkan Ciri-ciri Investasi Ilegal, Apa Saja?

Tongam memberikan tips sebelum meminjam melalui aplikasi peminjam online agar dipastikan seperti pinjam pada pinjol yang terdaftar di OJK, pinjam sesuai kebutuhan dan kemampuan, pinjam untuk kepentingan yang produktif, dan memahami manfaat, biaya, bunga, jangka waktu, denda dan risikonya.

Adapun, bagi masyarakat yang sudah telanjur meminjam di pinjol ilegal, maka Tongam menyarankan untuk melapor ke SWI, apabila memiliki keterbatasan kemampuan untuk membayar, maka ajukan restrukturisasi berupa pengurangan bunga, perpanjangan jangka waktu, dan penghapusan denda.

Tongam menuturkan, solusi jangka pendek bisa dilakukan dengan edukasi masyarakat, pemblokiran, penegakan hukum. Jangka menegah panjang, seperti membuka akses pendanaan yang lebih luas kepada masyarakat, program peningkatan pendapatan masyarakat, dan membentuk UU Fintech.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×