Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ancaman krisis energi dan pangan yang terjadi di global telah meningkatkan risiko resesi ekonomi di berbagai negara. Kendati demikian, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Sunarso menyebut, sektor riil dan perbankan cukup sehat.
Asumsi itu didasarkan pada data fundamental perekonomian Indonesia terkini dibandingkan saat krisis tahun 1998 terjadi. Sunarso yang juga menjabat sebagai Ketua Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menyebut, pertumbuhan perekonomian Indonesia pada 1998 negatif 13,1% sedangkan saat ini tumbuh 5,4% di kuartal kedua 2022.
Pertumbuhan ekonomi tersebut ditopang oleh permintaan domestik yang terus meningkat, bukan disokong faktor eksternal. Kemudian, inflasi pada 1998 mencapai 58,45%. Sedangkan inflasi Indonesia naik hingga 5,96% saat ini. Namun, kondisi inflasi ini lebih baik dibandingkan negara lain.
“Suku bunga deposito satu bulan, pada saat itu mencapai 41,4%. Sedangkan saat ini hanya 2,9% di Juli 2022. Secara likuiditas perbankan, pada 1998 loan to deposit ratio (LDR) mencapai 104, saat ini hanya 80% per Agustus 2022,” papar Sunaro secara virtual pada Kamis (6/10).
Baca Juga: LPS Terus Lakukan Transformasi untuk Penguatan Sektor Keuangan
Ini menunjukkan bahwa perbankan masih memiliki likuiditas yang memadai dalam menyalurkan kredit. Secara profil kualitas kredit, non performing loan (NPL) pada 1998 bertengger di posisi 58,7%. Sedangkan pada Agustus 2022 hanya 2,9%.
“Artinya situasi makro Indonesia cukup baik, sedangkan situasi sektor keuangan juga masih terjaga. Dimana, investment risk pada credit default swap kita itu pada 2008 sempat 691, sedangkan pada september 2022 level 161,” paparnya.
Ketergantungan surat berharga negara (SBN) terhadap asing pun semakin berkurang. Kepemilikan asing sempat mencapai puncaknya 38,6% di 2019, kini hanya sisa 14,7% di September 2022.
“Krisis 1998 itu sebenarnya krisis yang terjadi di kawasan Asia saja. Namun terjadi pelemahan rupiah hingga 540% terhadap dolar AS dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.000. Sedangkan modal perbankan, CAR sampai minus 15,7%, NPL 48,6%. Dampaknya multidimensi pasar keuangan, ekonomi, sosial, dan politik.
Pada 2008, Sunarso mengatakan, Indonesia kembali merasakan krisis yang terjadi di Amerika dan Eropa. Namun, Indonesia cukup bisa menghadapi dengan pelemahan rupiah 13% terhadap dolar AS dari Rp 9.060 menjadi Rp 10.208. Sedangkan CAR 16,8% dan NPL 3,2%. Dampak krisis ini meliputi pasar keuangan dan ekonomi.
Tak sampai di situ, pada 2013, kembali terjadi krisis di Eropa dan negara berkembang. Kali ini, rupiah melemah 26% terhadap dolar AS dari Rp 9.368 menjadi Rp 12.170. CAR dan NPL perbankan masing-masing 18.2% dan 1,77%. Dampaknya pada nilai tukar suku bunga dan inflasi.
Kemudian, pada 2020, krisis merata di dunia akibat Covid-19 yang membuat nilai tukar rupiah melemah 2,3% terhadap dolar AS dari Rp 13.800 menjadi Rp 14.120. Sedangkan CAR dan NPL bank berada di posisi 24,25% dan 3,18%. Krisis ini berdampak pada kesehatan, pasar keuangan, ekonomi, supply chain, dan daya beli masyarakat serta UMKM.
“Jadi boleh saya simpulkan, situasi kita di perbankan cukup solid karena sudah terlalu sering krisis dan sudah sering belajar,” kata Sunarso.
Baca Juga: Hadapi Krisis Global, Asbisindo Imbau Bank Syariah Jaga Likuiditas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News