Reporter: Roy Franedya | Editor: Edy Can
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) semakin ketat mengatur penyaluran kredit. BI mewajibkan perbankan lebih berhati-hati menyalurkan kredit konsumsi, karena ancaman overheating ekonomi.
Itu sebabnya, BI mewajibkan loan to value (LTV) kredit otomotif dan properti maksimal 70%. Tak cukup sampai di situ, melihat adanya lubang aturan tersebut, BI akan melarang penggunaan kredit tanpa agunan (KTA) sebagai uang muka alias down payment (DP) kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB). BI juga siap menutup lubang lain, yakni menerapkan LTV di perbankan syariah.
BI mengindikasikan, ada beberapa bank memberi KTA untuk mengakali keterbatasan debitur memenuhi aturan LTV. Deputi Gubernur BI, Halim Alamsyah, mengatakan BI akan merilis larangan itu dalam bentuk aturan atau surat edaran. "Larangan ini sebenarnya lumrah. Kami menegaskan kembali agar tak timbul debat kusir," ujarnya, Jumat (31/8).
BI akan memeriksa bank secara langsung, selain meneliti laporan yang mereka sampaikan, demi memastikan kepatuhan bank. Bila menemukan pelanggaran, bank sentral akan memberi sanksi. Tapi, BI belum bersedia menyebutkan sanksi yang diberikan. Yang pasti, aturan ini akan berlaku untuk perbankan syariah dan bank umum.
Tepat, tapi sulit diterapkan
Membuat aturan mudah, tapi praktiknya bukan hal gampang. Nasabah bisa saja mengambil KTA pada bank A dan menjadikannya uang muka kredit di bank B. Untuk menemukan modus ini, BI perlu bekerja keras menelusuri aliran dana di rekening nasabah.
Menurut Kepala Ekonom Bank Danamon, Anton Gunawan, larangan KTA sebagai uang muka adalah kebijakan tepat. Penggunaan KTA sebagai uang muka kredit akan menambah beban cicilan nasabah. Apalagi bunga KTA cukup tinggi.
Sudah begitu, KTA adalah kredit berisiko tinggi karena tak ada jaminan. "Bila terjadi sesuatu, seperti nasabah telat membayar cicilan atau gagal bayar, non performing loan atau kredit bermasalah akan meningkat cepat," ujar Anton.
Tapi, menurut Pengamat Perbankan, Mochammad Doddy Arifianto, larangan tersebut tidak tepat karena tak mempunyai dasar yang kuat. BI tidak bisa melarang bank menjalankan bisnis, di sisi lain BI memerlukan energi lebih besar untuk menganalisis data nasabah KPR dan KTA. "Larangan ini sulit dilakukan. Bila bank membuat perjanjian dengan nasabah bahwa uang muka bukan dari KTA, malah menjadikan perjanjian tersebut kurang kredibel," ujarnya.
Doddy menyarankan agar BI menerapkan aturan rasio cicilan utang terhadap pendapatan alias debt to income ratio dalam penyaluran kredit konsumsi seperti kredit properti dan otomotif. Doddy mengusulkan, rasionya maksimal 20%-30%. Jadi bagi nasabah yang cicilannya sudah di atas 20%-30% dari pendapatannya, tidak bisa lagi mengajukan pinjaman untuk membeli properti maupun kendaraan bermotor.
Penerapan kebijakan ini lebih mudah. BI sudah mempunyai Sistem Informasi Debitur (SID) dengan prinsip one obligor, sehingga pinjaman nasabah dari beberapa bank sudah direkap, tinggal meminta slip gaji nasabah dan dihitung persentasenya. "Penerapan rasio cicilan terhadap pendapatan perlu didorong dan dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan kehebohan di masyarakat," imbuh Doddy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News