Reporter: Roy Franedya, Umar Idris, KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Bank Century yang kini berganti nama menjadi Bank Mutiara memasuki babak baru. Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) segera menawarkan kepemilikan 99,9% sahamnya di Bank Mutiara. LPS mulai menyeleksi penasihat keuangan dalam proses penjualan saham tersebut.
Tiga sekuritas sudah lolos prakualifikasi, yakni Bahana Securities, Danareksa Sekuritas dan Mandiri Sekuritas. Selanjutnya, LPS akan menyeleksi penasihat hukum.
Penjualan ini amanat UU No 24 Tahun 2004 mengenai LPS. Pasal 42 menyebutkan, LPS wajib menjual seluruh saham paling lama tiga tahun sejak dimulainya penanganan bank gagal. Penjualan saham mempertimbangkan pengembalian optimal, sebesar penempatan modal sementara (PMS), yakni Rp 6,7 triliun. Jika tak memenuhi PMS, penawaran dapat diperpanjang 2 kali, masing-masing setahun. Jika sudah diperpanjang dua kali harga belum juga optimal, maka saham dilepas meski tidak sebesar nilai PMS.
LPS mengambil alih Mutiara November 2008. Jadi, saham bank ini harus mulai ditawarkan November 2011. "Ada beberapa investor yang menanyakan, tetapi belum ada letter of intens," kata Kepala Eksekutif LPS Firdaus Djaelani.
Namun, agaknya penjualan Mutiara sulit berjalan tahun ini. DPR tetap menuntut harga optimal, Rp 6,7 triliun. Padahal, menurut sumber KONTAN, paling banter harga Mutiara kini sekitar Rp 3 triliun.
Betul, UU mengatur soal perpanjangan masa penawaran. "Tapi apa kita terima? Mereka tidak bisa memakai UU sebagai alasan menjual Mutiara di bawah nilai PMS," tegas Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI.
Dia berniat memanggil manajemen Mutiara dan meminta hasil penjualan Mutiara November nanti. "Jika tak ada investor yang berminat, kami akan cecar apa penyebabnya," katanya. Dengan cara ini, DPR bisa menyimpulkan apakah kegagalan menjual sesuai PMS mengandung unsur kesengajaan atau tidak.
Ricardo Simanjuntak, praktisi hukum perbankan menilai, langkah DPR sudah benar. Celah hukumnya terletak di UU LPS itu sendiri, yakni kalimat "penyertaan modal". Menurut dia, itu berarti kegiatan komersial. Konsekuensinya, harus balik modal atau mendapatkan keuntungan. Beda jika LPS menggunakan istilah bailout atau penyelamatan. Istilah ini bermakna mengorbankan nilai untuk menciptakan kestabilan ekonomi.
Firdaus keberatan dengan argumen Ricardo. Menurutnya, itu hanya masalah istilah dan interpretasi. LPS melakukan penyertaan modal demi menyelamatkan sistem perbankan Indonesia saat krisis. "Kebijakan kami sesuai perintah Komite Stabilitas Sistem Keuangan," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News