kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.526.000   -2.000   -0,13%
  • USD/IDR 16.240   -40,00   -0,25%
  • IDX 7.037   -29,18   -0,41%
  • KOMPAS100 1.050   -5,14   -0,49%
  • LQ45 825   -5,35   -0,64%
  • ISSI 214   -0,85   -0,40%
  • IDX30 423   -1,15   -0,27%
  • IDXHIDIV20 514   0,87   0,17%
  • IDX80 120   -0,69   -0,57%
  • IDXV30 125   1,36   1,09%
  • IDXQ30 142   0,26   0,18%

Mampu bertahan hingga tiga generasi


Jumat, 29 November 2013 / 16:21 WIB
Mampu bertahan hingga tiga generasi
ILUSTRASI. Bawang merah.


Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Havid Vebri

Menyebut nama PT Bank OCBC NISP Tbk tentu tak lepas dari kisah Bank Nila Inti Sari Penyimpan atawa NISP). Bank swasta tertua di Indonesia itu hingga kini mampu bertahan. Bahkan mengembang menjadi salah satu bank yang patut diperhitungkan dalam kancah bisnis perbankan.       

Terlahir di tanah Pasundan tanggal 4 April 1941, bank ini mengusung nama  NV Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank. Sesuai namanya, bank ini fokus sebagai bank tabungan.

Adalah Lim Khe Tjie yang menerima tawaran Van Haster, temannya bermain kartu untuk 'memborong' saham bank NV Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank dengan nilai NF 5.000 ini di tahun 1950-an.

Di tangan Lim, sukses diraih. Hanya cobaan datang saat salah satu pemegang 43% saham NISP bangkrut. Kinerja bank terganggu. Dalam keadaan itu,  Lim menyerahkan pengelolaan bank ke Karmaka Surjaudaja, menantunya.

Karmaka yang saat itu tak memiliki pengalaman di bida ng keuangan memutuskan untuk menjual sebagian saham bank ini ke pihak lain.  Tujuannya agar NISP bisa kembali beroperasi normal.

Cobaan selanjutnya datang dari kebijakan pemerintah yang memotong nilai uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Nasabah pun berteriak dan menangis. Bahkan, banyak pula yang kemudian menarik dana dari bank. Alhasil, simpanan di bank terkuras.

NISP pun goyah, bahkan Karmaka jatuh sakit. Ia sempat meminta agar NISP dilikuidasi saja. Untung saja, langkah itu tak dilakukan. Sembuh dari sakit, Karmaka langsung bertekad menyelelamatkan bank.

Strategi pun dibentang. Langkah pertama adalah memborong kembali saham NISP yang dijual mitra usahanya. Kedua, cabang NISP yang semula berjumlah 56 di seluruh Indonesia dipangkas menjadi dua: di Jakarta dan Bandung saja. Karyawan pun dibabat dari 3.000 menjadi 150 orang saja.

Bintang terang mulai bersinar di NISP pada tahun 1968. Ketika itu, enam bank besar di Bandung ditutup karena salah kelola. Nasabah dari enam bank yang ditutup itu lari ke NISP yang dianggap lebih sehat. Keruan saja, bank kepunyaan keluarga Surjaudaja ini menjadi sangat likuid.

Sejak itu pula Bank NISP bangkit kembali. Ini pula yang menyadarkan Karmaka bahwa kepercayaan nasabah sangat penting dalam bisnis bank. "Ayah saya selalu berpesan, bisnis bank adalah kepercayaan. Inilah yang kami jaga hingga saat ini," ujar Parwati Surjaudaja, anak Karmaka yang kini menjadi  presiden direktur OCBC NISP.

Berpegang prinsip ini pula, NISP bertahan hingga 72 di 2013 ini. Selain menjaga kepercayaan, salah satu kunci yang membuat NISP bertahan adalah berbisnis secara konservatif. Lantaran saat itu, Karmaka tak memiliki ambisi membuat NISP menjadi bank terbesar, tapi menjadi salah satu bank yang terbaik yang ada di Indonesia.

Namun tahun 1988 ambisi Karmaka berubah. Keputusan pemerintah yang  memberi kemudahan persyaratan membuka bank lewat kebijakan Pakto 1988 membuat  Karmaka memutuskan berbisnis bank secara agresif. Setelah menjadi bank devisa tahun 1990, Bank NISP mulai membuka 22 cabang baru di seluruh Indonesia. Bahkan, tahun 1994, Karmaka melepas 20% saham NISP di lantai Bursa Efek Jakarta.

Setelah 34 tahun di pucuk pimpinan, tahun 1997, Karmaka  menyerahkan pengelolaan Bank NISP kepada Pramukti Surjaudaja, anak ketiganya.
Pramukti sendiri sebelumnya telah menjabat sebagai direktur sejak tahun 1989. Ketika Pramukti menjabat sebagai Presiden Direktur, Karmaka memilih mengundurkan diri dan kemudian menjadi Presiden Komisaris.

Karmaka memang menyiapkan Pramukti sebagai seorang bankir yang akan meneruskan kepemimpinannya di NISP. Di antaranya dengan memasukkannya ke San Fransico State University di Amerika Serikat dan mengambil MBA di Golden Gate University.

Tak hanya Pramukti, Karmaka juga menyiapkan Parwati untuk masuk bisnis perbankan. Ia pun membekali Parwati dengan sekolah di bidang keuangan, sama dengan Pramukti.

Meski sejatinya Parwati  ingin menjadi dokter anak.  "Saya tak pernah bermimpi bekerja di perusahaan keluarga, cita-cita saya menjadi dokter anak," ujarnya mengenang.

Namun, jalan pikirannya berubah setelah mendapati kondisi ayahnya yang divonis dokter hidupnya bakal tidak lama lagi yakni hanya lima tahun. Parwati yang ketika itu masih SMA membulatkan tekad untuk ikut meneruskan usaha ayahnya.

Namun, setelah lulus kuliah, ayahnya tidak langsung mengajak Pramukti maupun Parwati bergabung di NISP. Oleh Karmaka, mereka diarahkan untuk bekerja dulu di tempat lain sebagai konsultan  manajemen di SGV Utomo, Jakarta.

Dari pengalaman kerja itu, Karmaka ingin kedua anaknya dapat mengerti arti profesionalitas dalam bekerja. Pada tahun 1990, Karmaka kemudian memanggil kedua anaknya itu untuk masuk Bank NISP membantunya mengelola perusahaan.

Saat di NISP, Pramukti dan Parwati langsung menjabat direksi. Khusus Parwati menjabat direktur yang menangani audit, keuangan dan perencanaan strategis. Setelah dirasa mampu, baru sekitar tahun 1997 mereka berdua diangkat sebagai Presiden Direktur dan Wakil Presiden Direktur Bank NISP.

Faktor keluarga tak membuat Parwati seenaknya menjalankan tugas sebagai salah satu direksi. Justru, ia merasa tertantang untuk membuktikan bahwa ia mampu mengemban posisi itu dengan baik. “Sebagai anak pemilik justru berat bebannya karena semua orang pasti akan melihat ke arah kami,” katanya.

Sejak bergabung, baik Pramukti maupun Parwati menjadi saksi dan turut merasakan fase perjalanan bisnis  Bank NISP, termasuk melewati masa-masa terberat dalam krisis ekonomi Indonesia pada 1997-1998.  

Pasca krisis, bisnis NISP pun kian melaju pesat. "Kuncinya integritas tim, sumber daya alam, track record dan budaya serta ke hati-hatian dalam mengelola nasabah, dan pandai melihat peluang," ujar Parwati.

Tak bisa dipungkiri, banyak prestasi yang berhasil mereka capai ketika memimpin NISP. Termasuk mengundang masuk OCBC Singapura untuk menjadi salah satu pemegang saham di NISP di 2004. Masuknya OCBC lantaran sejalan dengan upaya perseroan untuk menjadi bank nasional seperti yang disyaratkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) Bank Indonesia.

Saat itu, OCBC Singapura tercatat membeli 22,5% saham Bank NISP melalui pemegang saham PT Surya Putera Rahardja serta dari publik dengan nilai sekitar Rp 602 miliar atau dengan harga 2,5 kali nilai buku pada saat perjanjian jual beli 23 Maret 2004 dan menjadikan Bank NISP menjadi Bank  OCBC NISP.  

Pada 1 Januari 2011, OCBC Singapura yang memiliki 81,9% saham Bank OCBC NISP serta 99% saham di Bank OCBC Indonesia dan 1%-nya dimiliki oleh Bank OCBC NISP memutuskan menggabungkan kedua bank miliknya.

Setelah proses penggabungan usaha tersebut selesai, kedua bank akan menggunakan nama dan logo PT Bank OCBC NISP Tbk dan PT Bank OCBC Indonesia dibubarkan tanpa melalui likuidasi terlebih dahulu.

Meski hanya memiliki saham tak lebih dari 1%, pemegang saham bank ini yakni OCBC Singapura tampaknya sudah kadung cinta dengan duet Pramukti dan Parwati dalam memimpin bank. Buktinya sampai sekarang, keduanya masih di NISP.

Tahun 2008, Parwati menggantikan sang kakak menjadi  orang nomor satu di OCBC NISP. Adapun Pramukti sebagai presiden komisaris.
Dengan menduduki posisi puncak, Parwati mengaku tanggung jawab yang diembannya kini makin besar. “Saya bekerja sepenuh hati dan fokus membangun bank ini,” ujarnya.

Parwati mengaku masih menerapkan prinsip ayahnya dalam mengelola bank. Yakni selalu mengutamakan dan membangun kepercayaan dengan seluruh stake holder.

Namun, di luar itu, ia juga menekankan pentingnya kapabilitas di jajaran manajemen yang sesuai dengan pasar dan kebutuhan nasabah. Persaingan bank sekarang semakin ketat. Maka itu, kapabilitas harus terus ditingkatkan. Begitu pun dengan sarana penunjang seperti informasi teknologi (IT ).

Di tangan Parwati, bank  yang kini berumur 72 tahun mampu bertahan dalam gejolak ekonomi dan persaingan perbankan yang makin ketat. Pascamerger, OCBC NISP tidak hanya berhasil mencatatkan pertumbuhan yang baik tetapi dapat menjaga tingkat rasio yang sehat bagi sebuah bank.  

Dengan slogan Your Partner for Life, melayani sepenuh hati hingga generasi berikutnya, Parwati ingin membawa OCBC NISP menjadi bank berstandar internasional dan bisa menjadi lima besar bank swasta nasional.                    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×