kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.306.000 -0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Manipulasi Laporan Keuangan Marak Terjadi di Industri BPR, Ini Akibatnya


Jumat, 10 November 2023 / 19:12 WIB
 Manipulasi Laporan Keuangan Marak Terjadi di Industri BPR, Ini Akibatnya
ILUSTRASI. Swandi, Direktur Eksekutif Klaim dan Resolusi LPS saat ditemui alam LPS Media Gathering di Bandung, Kamis (9/11)


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jumlah bank perkreditan rakyat (BPR) yang gulung tikar masih terus bertambah. Tahun ini, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah melikuidasi dua BPR, yakni BPR Bagong Inti Marga (BIM) di Jawa Timur dan Perumda BPR Karya Remaja Indramayu (BPR KRI) di Jawa Barat.

BPR KRI merupakan BPR terbesar kedua yang pernah ditutup LPS. Bank ini tercatat memiliki 34.000 rekening saat dinyatakan resmi dilikuidasi dengan total dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 337,17 miliar. 

Dari jumlah simpanan itu, total yang layak bayar karena dijamin penuh oleh LPS mencapai Rp 300,03 miliar. Hingga 1 November, LPS telah melakukan pembayaran klaim penjaminan kepada nasabah BPR KRI sebesar Rp 285,8 miliar. 

BPR terbesar yang pernah ditutup LPS adalah BPR Tripanca Setiadana di Lampung pada 2009. Saat resmi dinyatakan gagal, bank itu punya 11.000 rekening nasabah dengan total DPK Rp 516,4 miliar dan yang layak bayar mencapai Rp 507,79 miliar. 

Baca Juga: Industri BPR/BPRS Diperkuat, Begini Upaya yang Dilakukan OJK

Adapun BPR BIM tercatat memiliki 2.907 rekening nasabah dengan total simpanan mencapai Rp 13.64 miliar. Jumlah simpanan yang layak mendapat penjaminan penuh mencapai Rp 13,14 miliar. 

Swandi, Direktur Eksekutif Klaim dan Resolusi Bank LPS menegaskan, penyebab utama banyaknya BPR mengalami kegagalan bukan karena persaingan bisnis antar BPR maupun dengan bank umum, melainkan karena faktor kesalahan tata kelola.

"Banyak BPR gagal karena faktor fraud, digerogoti pengurus, karyawan, pemilik saham. Bukan karena persaingan dan bank run. Jadi ini masalahnya adalah kesalahan tata kelola," jelas Swandi dalam LPR Media Gathering, Kamis (9/11).

Menurut Swandi, penyakit BPR-BPR bermasalah selalu terlambat diketahui. Ibarat kanker, penyakitnya baru diketahui setelah sudah stadium akhir. 

Kondisi tersebut terjadi karena manipulasi laporan keuangan kerap terjadi di industri bank cilik tersebut. Berbeda dengan bank umum, laporan keuangan BPR untuk memenuhi aturan regulator tak pernah diperiksa oleh lembaga akutansi publik. 

Swandi menyebut, laporan keungan kerapa dimanunipulasi sehingga terlihat bagus atau window dressing semua. Padahal, kalau diperiksa satu per satu, akan ditemukan banyak kebohongan. 

Oleh karena itu, ia mengusulkan agar pengawasan terhadap BPR tak lagi didasarkan pada laporan keuangan tetapi harus dilakukan inovasi agar kewajiban pelaporan berdasarkan penerapan tata kelola saja. "Jadi usulan saya, jangan laporan keuangan yang diwajibkan tetapi pelaporan penerapan tata kelola yang baik. Karena, tata kelola itu merupakan cerminan kredibilitas suatu bank," lanjut Swandi.

Baca Juga: Simpanan Nasabah di Bank yang Dijamin LPS Sudah 30 Kali Pendapatan Per Kapita

Per September 2023, jumlah BPR di Indonesia menurut data LPS  mencapai 1.583 bank. Angka ini sudah berkurang 25 dari posisi akhir 2022. 
BPR ini terdiri dari BPR konvensional 1.411 bank dan BPR syariah 172 bank. 

Perubahan tersebut terjadi karena dua bank dicabut izin usahanya, satu bank melakukan likuidasi mandiri,  24 bank merger, satu bank umum turun kelas jadi BPR dan terdapat satu  BPR baru.

Adapun total rekening nasabah di BPR mencapai 15.652.238 dan 99,98% dijamin penuh oleh LPS. Sehingga ketika terjadi kegagalan BPR dan resmi dinyatakan tutup maka hampir seluruh dana nasabah aman.

Mendorong Percepatan Konsolidasi BPR

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini tengah fokus mendorong konsolidasi industri BPR. Kelompok bank ini sudah diwajibkan memiliki modal inti minimum Rp 6 miliar paling lambat pada akhir 2024. 

Lewat konsolidasi itu, OJK menargetkan jumlah BPR akan berkurang menjadi 1.000 pada tahun 2027. Artinya dari posisi per September 2023,  akan terjadi pemangkasan 583 BPR dalam lima tahun ke depan.

Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK mengatakan, regulator  telah melakukan langkah-langkah yang lebih jelas dan tegas untuk memastikan bahwa tidak ada moral hazard di industri BPR.

"Jangan sampai kemudian BPR mendapat stigma buruk di masyarakat.  Sehingga langkah-langkah tegas untuk melakukan pembenahan harus dilakukan. Masih ada beberapa bank yang fraud dan itu sudah kami serahkan ke LPS," kata Dian, belum lama ini.

OJK mengharapkan konsolidasi BPR dilakukan secara mandiri. Beberapa bank yang dimiliki oleh pemegang saham yang sama terus didorong untuk melakukan merger. 

Hingga saat ini, OJK tercatat telah menyetujui sejumlah aksi merger di di industri BPR. Pertama, ada sebanyak 10 BPR yang beroperasi di Indonesia bagian Timur yang dimiliki oleh PT Modern Multiartha (MMA Group) merger menjadi satu entitas yakni BPR Modern Express

Baca Juga: LPS Cairkan Tahap II Pembayaran Klaim Simpanan Nasabah BPR Karya Remaja Indramayu

Kedua, BPR Arga Tata telah menyatu dengan BPR Restu Artha Yogyakarta. Ketiga, penggabungan BPR Dewata Indobank dengan BPR Kita Centradana.  

Keempat, merger BPR Trisurya Bumindo masuk ke dalam PT BPR Langgenglestari Bersama.  Kelima, BPR Rangkiang Nagari, BPR Cahaya Intan Mandiri, BPR LPN Padang Magek, BPR Luhan Nan Tuo dan BPR LPN Pandai Sikek merger menjadi PT BPR Gudam.

Keenam, BPR Artha Daya dan PT BPR Sejahtera Arthatama Mandiri merger menjadi PT BPR Sejahtera Artha Sembada.  Ketujuh,  BPR Porsea Jaya merger ke dalam BPR Bandar Jaya. 

Dian mengatakan, jika melihat kinerja BPR dari waktu ke waktu sebetulnya menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan hampir di semua aspek, seperti penghimpunan dana, penyaluran kredit, laba dan lain sebagainya. Rasio keuangan juga disebut Dian mulai membaik mendekati posisi sebelum pandemi covid. "Ini tanda-tanda kalau memang BPR ini masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita di berbagai daerah," katanya.

Tentu, kata Dian, dengan keluarnya UU P2SK BPR ini diberikan kewenangan yang lebih, dan upaya-upaya untuk memperkuat BPR  ini harus terus dilakukan karena kata Dian nyaris tidak ada perbedaan yang berarti antara bank umum biasa dengan BPR ini sehingga upaya-upaya konsolidasi yang sudah dan sedang pihaknya lakukan akan terus dilanjutkan.

Untuk diketahui, BPR bakal leluasa dalam melakukan peningkatan permodalan ke depan setelah Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) diundangkan.

Baca Juga: Bank Daerah Semakin Aktif Mendorong Ekspansi Bisnis Payroll

RUU P2SK akan mendorong pengembangan industri BPR. Salah satunya dengan memperbolehkan BPR/BPS melakukan initial public offering (IPO) atau melantai di pasar modal.

Berdasarkan data OJK, aset BPR per Agustus 2023 tercatat mencapai Rp 188,87 triliun, tumbuh 7,9% secara tahunan. Total outstanding kredit BPR mencapai Rp 137,48 triliun, meningkat 9,88% dari Agustus 2022. Sedangkan dana pihak ketiga (DPK) mencapai Rp 134 triliun atau tumbuh 9,2% secara tahunan. 

Meski kredit BPR tumbuh, namun kualitas aset tercatat mengalami penurunan. Kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) mencapai Rp 13,92 triliun per Agustus 2023 atau dengan rasio 10,13% dari total kreditnya. Rasio NPL meningkat cukup tinggi dari posisi Desember 2022 sebesar 7,89% atau dengan total kredit bermasalah Rp 10,8 triliun. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×