Reporter: Ferrika Sari | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Ketua DPR Korinbang Rachmat Gobel meminta agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan moratorium terhadap aktivitas pinjaman online (pinjol), seiring kian maraknya praktik ilegal yang sangat merugikan masyarakat.
“Tiap hari kita disodori berita yang menyedihkan dari masyarakat yang terbelit masalah akibat praktik tidak sehat dari pengelola pinjaman online. Bahkan ada yang bunuh diri karena tidak bisa membayar cicilan utang mereka yang membengkak secara luar biasa," kata Rachmat dalam keterangan resmi, Rabu (15/9).
Tak hanya itu, ada nasabah pinjam satu hingga dua juta namun nilai pengembaliannya naik sampai puluhan juga. Menurutnya, hal itu sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dan meminta otoritas menghentikan izin baru ke perusahaan fintech.
Gobel mengakui, ide awal kelahiran fintech untuk meningkatkan inklusi di sektor keuangan. Namun dalam praktiknya, terlihat ada ketidaksiapan dari berbagai lembaga terkait. Inilah yang kemudian membuat munculnya praktik tidak sehat, bahkan menjamurnya pengelola fintech ilegal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Baca Juga: OJK cabut status tercatat IKD dari Pasar KTA
Menurut data Satgas Waspada Investasi (SWI) OJK, penegakan hukum penanganan pinjol masih menghadapi banyak masalah, terutama dari pemain ilegal. Mereka sulit untuk ditangani karena pemilik fintech ilegal ini hanya 22% yang memiliki server di Indonesia. Sedangkan, 44% lainnya tidak terdeteksi dan sisanya berada di luar negeri.
Wakil rakyat dari Partai Nasdem ini menilai, maraknya pinjol ini juga harus menjadi indikator bagi otoritas keuangan untuk perlu instrospeksi bagi lembaga-lembaga keuangan seperti bank, koperasi, dan PNM. “Maraknya pinjol tidak terlepas ari ketidakmampuan bank, koperasi dan PNM menjangkau orang-orang yang sedang kesusahan tersebut,” katanya.
Karena itu, pemerintah dan otoritas harus segara memperkuat sektor perbankan untuk rakyat kecil, koperasi, dan PNM. Dengan memberikan prosedur yang lebih mudah serta memperkuat jejaring yang ada agar bisa menjangkau ke seluruh pelosok negeri.
Menurut survei Bank Indonesia (BI), pelaku usaha kecil yang sudah mendapat aliran kredit dari bank sebenarnya baru mencapai 30,5% dari total UMKM yang ada di dalam negeri. Sementara sisanya 69,5% belum mendapat akses kredit dari bank dan dari jumlah ini sekitar 43% dinilai sangat membutuhkan kredit dengan potensi bisa mencapai Rp 1.600 triliun.
“Jadi, kesenjangan kredit masih tinggi. Oleh karena itu tidak boleh menyalahkan masyarakat jika mereka tergiur dengan pinjol. Mereka sangat membutuhkan pembiayaan, tapi bank, koperasi dan PMN tidak mampu melayani kebutuhan itu. Kondisi inilah yang harus dibenahi,” tambahnya.
Baca Juga: Jamkrindo catat penjaminan kredit modal kerja sebesar Rp 20,76 triliun hingga Agustus
Dari sisi regulasi, perlindungan terhadap masyarakat belum kuat karena kehadiran perusahaan pinjol baru diatur berdasarkan Peraturan OJK No 77 Tahun 2016. Sampai saat ini UU Perlindungan Data Pribadi belum juga bisa disahkan karena pemerintah tidak setuju dibentuknya lembaga pengawas yang bersifat independen.
Terkait dengan aktivitas keuangan digital seperti pinjol, Indonesia membutuhkan UU Financial Technology (Fintech) dan UU Perlindungan Data Pribadi. Namun sampai saat ini UU Fintech masih menjadi wacana, sementara untuk pembahasan UU Perlindungan Data Pribadi terganjal sikap pemerintah.
Selanjutnya: Perusahaan fintech diguyur pendanaan hingga jutaan dolar AS
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News