kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.462.000   9.000   0,37%
  • USD/IDR 16.663   -15,00   -0,09%
  • IDX 8.660   40,02   0,46%
  • KOMPAS100 1.192   10,20   0,86%
  • LQ45 848   1,27   0,15%
  • ISSI 313   2,80   0,90%
  • IDX30 434   0,50   0,12%
  • IDXHIDIV20 501   -0,35   -0,07%
  • IDX80 134   1,11   0,84%
  • IDXV30 138   1,59   1,16%
  • IDXQ30 138   -0,09   -0,07%

Menakar Kekuatan LPS Menjamin Simpanan Nasabah Perbankan


Minggu, 13 November 2022 / 19:25 WIB
Menakar Kekuatan LPS Menjamin Simpanan Nasabah Perbankan
ILUSTRASI. Karyawan membersihkan logo baru Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Jakarta, Selasa (23/4/2019). ANTARA FOTO/Audy Alwi/hp.


Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam menjamin simpanan nasabah, undang-undang mengamanatkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memiliki aset 2,5% dari total simpanan perbankan. Rasio itu akan menentukan tingkat penjaminan LPS dalam menjalankan fungsinya. 

Adapun pada September 2022, LPS baru memiliki tingkat penjaminan simpanan 1,82% dari total simpanan bank. Hitungannya, tarif premi yang harus perbankan bayar ke LPS sebesar 0,1% dari total simpanan per 6 bulan. 

Ini pulalah yang menjadi kendala bagi LPS untuk melakukan perubahan kebijakan dalam penetapan premi. Lantaran, UU telah mengatur secara rigid terkait kebijakan penentuan tarif premi. 

Padahal, beberapa tahun terakhir beredar isu LPS akan menetapkan tarif berdasarkan risiko bank. Anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif LPS Lana Soelistianingsih, menyatakan saat ini penetapan premi bagi perbankan masih mengacu kepada ketentuan yang masih berlaku. Begitupun, dengan upaya LPS mendorong ekonomi hijau juga terbentur UU. 

Baca Juga: Biaya Karyawan Sejumlah Bank Membengkak hingga Kuartal III

“LPS masih harus mengkaji lagi isu memberikan potongan premi bagi perbankan yang menyalurkan kredit hijau. Karena, UU itu mengatur premi secara flat, itu harus diubah dulu,” ujar Lana kepada Kontan.co.id pada pekan lalu. 

Hingga saat ini, baru Amerika Serikat (AS), Korea Selatan, dan Malaysia yang sudah menetapkan skema premi berbasiskan risiko. Sedangkan, The Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) dari AS membutuhkan transisi 60 tahun dalam menerapkan skema berbasis risiko dari premi yang flat.

FDIC juga telah menerapkan pembayaran premi berbasiskan ukuran bank. Setelah krisis bubble dot com di awal 2000, perbankan AS tumbuh dengan baik dan risikonya berkurang. Sehingga, premi yang masuk lebih sedikit. 

Lalu, pada 2008 terjadi krisis keuangan, perbankan AS terdampak yang membuat FDIC memiliki arus kas yang negatif dalam menjalankan tugasnya. Oleh sebab itu, penerapan premi juga berdasarkan ukuran bank. 

Penerapan premi berbasis risiko di Indonesia akan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Pertama, LPS harus memiliki tingkat penjaminan simpanan harus mencapai 2,5%, dimana setiap tahunnya simpanan perbankan juga akan semakin tumbuh. 

Baca Juga: Sudah Ada Pembeli Siaga, Bank Nobu Rights Issue 681,81 Juta Saham

Kedua, industri perbankan di Indonesia yang begitu besar terdiri dari 107 entitas bank umum ditambah 1.451 unit BPR yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Sehingga, akan membuat pengawasan dan lingkup perhitungan premi menjadi lebih kompleks. 

Asal tahu saja, pada akhir 2021, LPS mencatatkan pertumbuhan total aset mencapai Rp 162,01 triliun atau tumbuh sebesar 15,59% dari tahun sebelumnya. Kemudian, portofolio Investasi Surat Berharga LPS per 31 Desember 2021 mencapai Rp 152,39 triliun atau tumbuh 14,25% dibandingkan tahun 2020. 

Sehingga, LPS berhasil menghimpun pendapatan investasi yang dibukukan LPS tahun 2021 mencapai Rp 10,00 triliun, atau meningkat 13,03 persen dibandingkan tahun sebelumnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×