Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Havid Vebri
NUSA DUA. Sudah lebih dari satu tahun pengimplementasian Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dalam pengimplementasian JKN ini, BPJS Kehsetan menetapkan peraturan turunan berupa skema Coordination of Benefit (COB).
Namun, setelah sekian lama tak kunjung menemukan titik temu, skema CoB kini nyaris menuju buntu. Soal fasilitas kesehatan masih menjadi salah satu batu sandungan terbesar.
Asal tahu saja, COB ialah suatu proses koordinasi pelayanan kesehatan di antara dua atau lebih asuradur yang menjamin orang yang sama. Keberadaan COB yang dimaksud disini adalah koordinasi manfaat antara JKN sebagai asuransi sosial dan asuransi komersial.
Dumasi MM Samosir, Direktur PT Asuransi Sinar Mas (ASM) menyebut pihak perusahaan asuransi komersial dan BPJS Kesehatan masih beda pendapat soal fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Pihak asuransi swasta meminta fasilitias kesehatan (fasilitas kesehatan) yang sudah bekerja sama dengan mereka bisa digolongkan sebagai FKTP.
Namun hal ini tidak sesuai dengan pandangan BPJS Kesehatan. "Mereka menilai izin rumah sakit atau klinik umum yang belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berbeda dengan FKTP mereka," kata dia, Selasa (8/9).
Selain itu, ia melanjutkan, adendum yang dilakukan BPJS Kesehatan juga berdampak pada kelanjutan skema. Perubahan secara sepihak yang dilakukan badan publik ini seperti soal pembayaran klaim disebutnya sulit untuk diterima pelaku bisnis asuransi kesehatan.
Dalam kesepakatan sebelumnya, dia bilang, klaim bisa ditanggung bersama bila pasien masuk ke FKTP milik BPJS. Namun hal ini digugurkan dalam adendum yang dibuat BPJS Kesehatan.
Bahkan menurut Dumasi, yang juga menjadi anggota tim pembahas CoB, belum lama ini keberlanjutkan koordinasi manfaat juga menjadi semakin meragukan. Pasalnya, salah satu anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyatakan bahwa kerja sama antara BPJS Kesehatan dengan menggandeng perusahaan asuransi komersial justru melanggar UU No 40 tahun 2004.
Tapi menurut Dumasi, hal tersebut hanya perbedaan bahasa dan masalah penafsiran saja. "Di Perpers juga disebutkan penjelasan lebih detil tentang pembayar pertama dan pembayar kedua," ungkapnya.
Tapi tetap saja, penafsiran tersebut otomatis membuat kedua pihak menunda untuk melanjutkan pembahasan soal koordinasi manfaat. "Kini masuk dalam status quo," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News