Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Dessy Rosalina
JAKARTA. Tahun depan, pemilik Bank Perkreditan Rakyat (BPR) harus lebih serius membenahi praktik bisnis BPR. Sebab, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja merilis Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) tentang BPR.
Setidaknya ada tiga poin penting yang patut dicermati pemilik BPR. Pertama, kewajiban modal minimum BPR. OJK memberi kisaran modal mulai dari Rp 4 miliar hingga Rp 14 miliar (lihat tabel). Kewajiban modal ini berbeda dari rencana regulator sebelumnya yang akan membagi zona BPR menjadi tiga. Dulu, modal BPR direncanakan mulai dari Rp 4 miliar, Rp 6 miliar dan Rp 10 miliar.
Kedua, kewajiban minimal satu pemegang saham pengendali (PSP). "Aturan ini sebagai bentuk antisipasi bila di masa mendatang ada BPR bermasalah yang memerlukan tambah modal," ujar Mulya Effendy Siregar, Deputi Pengaturan Perbankan OJK kepada KONTAN, Minggu (31/8).
Ketiga, pembatasan wilayah ekspansi. BPR hanya dapat membuka kantor cabang di wilayah provinsi yang sama dengan kantor pusatnya. Mulya bilang, larangan ini bertujuan agar BPR kembali ke konsep awalnya yakni sebagai community bank.
Joko Suyanto , Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Perkreditan Rakyat Seluruh Indonesia (Perbarindo), menilai, kehadiran PSP bakal mempermudah mitigasi risiko. Namun, Perbarindo memprotes larangan ekspansi.
“Seharusnya dibuat stratifikasi BPR seperti bank umum yang terdiri dari empat kategori BUKU,” tandas Joko.
Raden Soeroso, Direktur Utama BPR Jatim juga keberatan. Menurut dia, BPR dengan aset lebih dari Rp 1 triliun seharusnya leluasa ekspansi cabang tanpa batas wilayah. Saat ini, aset BPR Jatim Rp 1,78 triliun. Catatan Perbarindo, belum ada BPR yang membuka cabang di luar provinsi kantor pusat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News