Reporter: Adhitya Himawan, Issa Almawadi | Editor: Dessy Rosalina
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuktikan keseriusannya mengatur industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Terbaru, OJK merilis rancangan peraturan OJK tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR.
Jika tak ada aral melintang, rancangan peraturan itu bakal menjadi beleid resmi pada akhir tahun ini atau awal tahun 2015. Panca Hadi Suryatno, Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR OJK mengatakan, otoritas mengatur permodalan BPR bertujuan mendorong permodalan BPR semakin kuat.
Ada dua poin penting yang tercantum. Pertama, rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sebesar 12%. Kedua, rasio modal inti minimum sebesar 8% atau Rp 6 miliar. "Kami sudah sosialisasi kepada pelaku BPR dan tidak ada keberatan karena masa transisi cukup panjang yakni lima tahun," ujar Panca kepada KONTAN, Selasa (21/10).
Berdasarkan data OJK per Maret 2014, sekitar 90% BPR sudah memenuhi CAR di atas level 12%. "Sehingga, diharapkan peningkatan CAR tersebut tidak membebani BPR," ucap Panca. OJK berharap, ketentuan permodalan mendorong industri BPR lebih sehat lewat merger atau konsolidasi.
Samsu Adi Nugroho, Sekretaris Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), mendukung penuh langkah OJK tersebut. Ketentuan permodalan bakal membuat BPR lebih hati-hati dan efisien dalam menjalankan bisnisnya. Sehingga, "Tidak akan ada lagi BPR yang mengalami likuidiasi," ujarnya.
Muhammad Sigit, Sekretaris Jenderal Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah Se-Indonesia (Perbamida) menyatakan, industri BPR lebih sehat lewat permodalan kuat dan merger. "Merger BPR sudah banyak terjadi di Jawa Tengah," ujarnya.
Asal tahu saja, aturan permodalan terbaru lebih longgar ketimbang rancangan yang terbit awal September lalu. Beleid sebelumnya mematok modal berdasarkan zona. Ada empat zona, mulai dari modal Rp 4 miliar bagi zona 4, hingga modal Rp 14 miliar bagi BPR di zona 1 (Harian KONTAN, 1 September 2014).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News