Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan OJK No. 10.2022 memperbaharui permodalan fintech peer-to-peer (P2P) lending menjadi minimal Rp 25 miliar.
Berdasarkan Pasal 4, modal harus disetor dalam bentuk tunai. Sedangkan peningkatan modal bisa dalam bentuk tunai, setoran tunai, ataupun dividen saham.
Dari sisi pelaku fintech, CEO Akseleran Ivan Nikolas Tambunan menyebut, modal setor minimum Rp 25 miliar merupakan kebijakan baik.
Menurutnya, ini untuk memastikan ke depannya penyelenggara layanan fintech lending sehat secara finansial, apalagi industri ini saat ini sudah berkembang selama lebih dari 6 tahun.
Baca Juga: Lampu Kuning Fintech Lending?
Ivan menerangkan, modal disetor 25 miliar berlaku untuk platform yang baru, sedangkan platform existing tidak berlaku. Untuk platform existing wajib meningkatkan ekuitas menjadi Rp 12,5 miliar dalam beberapa tahun.
"Bila tidak berkenan atau mampu menambahkan ekuitas, maka bisa cari partner lain, namun saat ini perubahan pemegang saham hanya bisa dilakukan dalam waktu 3 tahun setelah mendapat izin usaha," kata Ivan saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (14/12).
Untuk itu, Ivan memandang industri fintech harus fokus pada fundamental usaha. Bila usaha mampu tumbuh dalam memberikan pinjaman, dengan kualitas pinjaman yang baik (NPL rendah) dan cost of fund yang kecil, maka seharusnya bisa jadi sustainable.
"Hati-hati juga dalam memanage opex (operating expenditure) perusahaan," tambahnya.
Di tengah kasus yang mencoreng industri fintech, Ivan menyatakan utamakan risk assessment pinjaman dan collection pinjaman. Lebih lanjut, assessment pinjaman perlu ditingkatkan terus kualitasnya agar NPL kecil.
"Sedangkan, dari sisi collection, perlu terus memperkuat SDM internal agar melakukan collection sesuai dengan aturan dan pedoman yang ada," pungkas Ivan.
Dari sisi pengamat, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengungkapkan, penambahan modal inti cukup positif untuk mendorong konsolidasi fintech.
Bhima menyarankan, mungkin di Indonesia tidak perlu banyak fintech, agar secara pengawasan efektif dan penyaluran pinjamannya lebih produktif.
"Kalau kondisi existing terlalu banyak fintech pengawasan jadi sulit, yang dirugikan masyarakat juga," kata Bhima saat dihubungi Kontan.co.id.
Baca Juga: OJK Sebut Kinerja Fintech Lending Menurun, Begini Tanggapan AFPI
Sebagai informasi, saat ini OJK mencatat sudah ada 102 fintech lending yang berizin OJK. Bhima menilai, idealnya jumlah fintech di bawah 30 perusahaan tapi modal intinya tinggi dan cakupan penyaluran kredit ke sektor produktivitasnya luas
Adapun Bhima menyarankan, perusahaan fintech bisa lakukan opsi merger dan akuisisi sesama perusahaan fintech atau menjual saham kepada perbankan atau bahkan likuidasi.
Lebih lanjut, sebaiknya fintech punya integrasi dengan ekosistem digital yang lebih luas misalnya akses permodalan ke merchant e-commerce masih potensial, tapi harus merger dahulu dengan platform e-commerce.
Menurut Bhima, perbaikan manajemen risiko juga penting, tidak sekadar penyaluran pinjaman tinggi, kedepan masalah keberhasilan pengembalian dana peminjam juga penting.
Senada, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah memandang model minimum Rp 25 miliar ialah hal yang wajar. Menurutnya, modal minimum Rp 25 miliar sebenarnya masih terlalu kecil bila dibandingkan modal minimum sebuah bank.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News