Reporter: Christine Novita Nababan | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghitung, reasuransi baru yang bakal terbentuk dari penggabungan beberapa perusahaan asuransi dan reasuransi sebaiknya mengantongi modal paling sedikit Rp 5 triliun. Kebutuhan modal itu bukan mengada-ngada, jika melihat potensi bisnis yang akan dijalankan kelak.
Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Non Bank OJK mengatakan, merger reasuransi kelak akan menangani bisnis reasuransi dari perusahaan-perusahaan asuransi umum, jiwa dan penjaminan. “Jadi nantinya perusahaan-perusahaan asuransi wajib treaty dengan reasuransi baru ini,” ujarnya ditemui KONTAN, akhir pekan lalu.
Artinya, kapasitas bisnis reasuransi baru gabungan dari perusahaan asuransi pelat merah itu memang bukan kelas teri. Bayangkan saja, jika reasuransi baru harus berbagi risiko dengan total 80 perusahaan asuransi umum, 43 perusahaan asuransi jiwa, serta delapan lembaga penjaminan.
Namun demikian, Firdaus menuturkan, penambahan modal menjadi Rp 5 triliun ini pun baru sebatas hitung-hitungan OJK alias belum mendesak. Toh, merger reasuransi dari beberapa perusahaan yang ditunjuk diperkirakan mampu mengumpulkan ekuitas hingga Rp 2 triliun. Angka ini tidak bisa dibilang sedikit untuk tahap awal.
Saat ini, pemerintah sendiri belum memutuskan jangkar dari reasuransi baru. Pekan lalu, OJK sempat menyerahkan hasil kajian dari Mandiri Sekuritas kepada Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negera (BUMN). Dari kajian itu, pemerintah bakal memutuskan operator merger reasuransi dari yang disebut-sebut empat perusahaan asuransi pelat merah.
Adapun, dua di antaranya, yakni PT Asuransi Ekspor Indonesia (Persero) dan PT Reasuransi Internasional Indonesia atawa Reindo. “Kemeneg BUMN yang bakal memberikan rinciannya, kewenangan OJK sampai pada memberikan hasil kajian dan membuat peraturan pendukung jika diperlukan,” tegas Firdaus.
Sekadar informasi, apabila ASEI yang ditunjuk menjadi jangkar merger asuransi, OJK sendiri mengaku tidak akan ada masalah. Apalagi, Peraturan Pemerintah yang mendasari aktivitas usaha ASEI selama ini tidak membatasi bisnis perusahaan asuransi pelat merah tersebut.
Paling tidak, konsekuensi dari terpilihnya ASEI sebagai merger asuransi membuat perseroan memperkecil bisnis komersialnya dan memperbesar kapasitas bisnis reasuransinya. “Ini salah satu alternatif dari hasil kajian yang diserahkan kepada Kemeneg BUMN,” katanya.
Dihubungi terpisah, Eko Wari, Direktur Utama ASEI mengaku, belum mengetahui kelanjutan yang jelas mengenai merger asuransi. “Belum ada rapat lagi untuk memutuskan rencana merger reasuransi tersebut,” tutur dia kepada KONTAN.
Sekadar menyegarkan ingatan saja, Gatot Trihargo, Deputi Usaha Jasa Kemeneg BUMN bilang, pihaknya akan menggelar pertemuan kembali guna memutuskan arah merger reasuransi raksasa ini. Ada beberapa opsi, misalnya, membuat perusahaan baru atau melebur perusahaan yang ada.
Kemeneg BUMN menginginkan tiga perusahaan reasuransi pelat merah, antara lain Reindo, PT Reasuransi Nasional Indonesia (Nasre) dan PT Tugu Reasuransi Indonesia membentuk satu perusahaan reasuransi kelas kakap bersama ASEI.
Ditargetkan, cita-cita pemerintah melahirkan perusahaan reasuransi raksasa milik negara ini akan terlaksana akhir semester pertama tahun ini dan segera beroperasi tahun ini juga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News