Reporter: Galvan Yudistira | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL ) perbankan masih cukup tinggi. Hingga akhir September 2016, NPL industri perbankan masih di level 3,1%. Direktur Utama Pefindo Biro Kredit, Ronald T Kasim mengatakan, selain faktor ekonomi yang lesu, tingginya NPL karena bank tidak menerapkan tarif bunga berbasis risiko atau risk based pricing.
Menurut Ronald, penerapan risk based pricing masih perlu didorong dengan kelengkapan data-data calon nasabah kredit. “Selama ini informasi perkreditan yang ada di SID (sistem informasi debitur) merupakan data mentah saja, belum ada pemeringkatannya,” ujar Ronald di Jakarta, Rabu(14/12).
Untuk mengurangi risiko tersebut, kata Ronald, perbankan disarankan melakukan risk based pricing. Selain itu, untuk melengkapi informasi perkreditan juga diperlukan tambahan data peritel atau perusahaan utilitas, seperti perusahaan listrik, perusahaan air minum, pergadaian dan lembaga pemerintah seperti Direktorat Jenderal Pajak.
Salah satu tujuan industri lembaga pengelola informasi kredit adalah untuk menekan NPL dan mendorong penurunan suku bunga kredit.
Ronald merinci, Pefindo Biro Kredit ( PBK) telah menampung 83 juta data nasabah perbankan yang diambil dari SID bank Indonesia. Selanjutnya, PBK memadukan data tersebut dengan data-data dari perusahaan utilitas dan lembaga pemerintah sehingga tersaring 53 juta data nasabah dan calon nasabah.
Setiap nasabah maupun calon nasabah memiliki peringkatnya masing masing dimulai risiko besar dengan nilai 200 hingga nilai 900 dengan nol risiko.
Sejauh ini, kata Ronald, engguna informasi perkreditan PBK telah mencapai 46 lembaga keuangan. Dengan rincian delapan bank, sembilan financial technologi dan 29 lembaga pembiayaan.
Sementara, tahun depan, ia berharap akan ada delapan perbankan yang bergabung dan 29 lembaga pembiayaan. “Saat ini terdapat 50 lembaga keuangan dalam proses finalisasi untuk menjadi anggota PBK,” ujar Ronald.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News