Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri perbankan terus memperkuat pencadangan di tahun 2023, hal tersebut dilakukan salah satunya untuk mengantisipasi kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit yang akan berakhir pada Maret 2023. Melalui strategi tersebut, diharapkan kualitas kredit tetap terjaga meski relaksasi dicabut.
Bank BTN misalnya, yang terus meningkatkan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) dari tahun ke tahun. Direktur Risk Management and Transformation BTN Setiyo Wibowo menyatakan, untuk rasio CKPN BTN di jaga secara bertahap bertumbuh. Tahun ini BTN akan tingkatkan di angka 150%.
"Tahun depan perseroan juga akan naikkan ke 160% CKPN terhadap NPL, kemudian tahun 2024 mungkin 170%-180% dan harapannya 2025 di 200%. Kami akan terus memperkuat atau menambah pencadangan dimana setiap tahun pencadangan Bank BTN ditambah paling tidak Rp 2,7 triliun - Rp 3 triliun," kata Setiyo kepada kontan.co.id, Senin(21/11).
Pencadangan ini sebagai persiapan dan alokasi biaya seandainya kualitas kredit turun. Dengan pencadangan yang makin tinggi, bank lebih siap menghadapi berbagai kondisi. Misalnya, kondisi ekonomi memburuk sehingga mempengaruhi kualitas kredit.
Baca Juga: LPS: Pertumbuhan Kredit Akan Kian Meningkat, DPK Tumbuh dengan Laju Lebih Lambat
"Kita sudah punya gambaran bahwa ke depan situasi tidak akan jauh lebih mudah di bandingan dengan tahun-tahun sebelumnya. strategi pencadangannya justru kita tambahkan terus bukan dikurangi. Hal ini untuk mengantisipasi resiko NPL maupun adanya perubahan policy restrukturisasi yang akan dicabut di tahun 2023. kita sudah planing kan itu sejak 2021 sampai 2025 nanti. jadi memang kita ada strategi soft landing lah," jelasnya.
Tahun ini, BTN menjaga NPL Gross di kisaran 3,3% melalui restrukturisasi kredit Covid-19. Di tahun depan Setiyo mengarapkan rasio NPL bisa dijaga di bawah 3% dan nanti dalam jangka 2-3 tahun ke depan harapannya NPL bisa ditekan di kisaran 2,2%-2,5%.
Menurutnya, strategi pencadangannya di lakukan secara konservatif dengan terus menambah pencadangan, selain itu risk management terus di perkuat agar monitoring, akuisisi kredit baru dilakukan dengan lebih prudent.
"Flow management juga di lakukan lebih prudent sehingga termasuk alokasi pencadangan, kita lakukan secara konsisten, bukan pengurangan tapi menambah pencadangan secara bertahap di setiap tahunnya," imbuhnya.
Serupa, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) juga masih terus memupuk pencadangan untuk mengantisipasi risiko pemburukan kredit ke depan.
Direktur Manajemen Risiko Agus Sudiarto mengatakan, LAR BRI terus menurun sejalan dengan penurunan outstanding restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 menjadi Rp 116,4 triliun per September 2022 atau 19,3% dari total kredit dari angka tertinggi Rp 256 triliun pada September 2020.
Baca Juga: Ini Upaya BI dan Perbankan Dukung Transisi Energi
LAR BRI telah turun menjadi 19,28% per September 2022 dari 25,62% pada periode yang sama tahun lalu. Dari LAR tersebut, 7,7% berasal dari restrukturisasi Covid-19 dan 11,6% LAR non Covid-19.
Untuk memitigasi dampak restrukturisasi debitur yang masih terdampak Covid-19, perseroan telah menyiapkan cadangan kerugian pengganti nilai (CKPN) sebesar Rp 29,95 triliun.
Pencadangan untuk restrukturisasi Covid-19 tersebut mencapai 25,7%. Sementara kredit yang berpotensi tidak bisa diselamatkan kurang dari 10%. Oleh karena itu, Agus menilai pencadangan yang dilokasikan BRI sudah sangat cukup untuk mengantisipasi pemburukan aset.
Itu juga menandakan bahwa BRI sudah sangat siap jika relaksasi restrukturisasi Covid-19 yang akan berakhir pada Maret 2023 tidak lagi diperpanjang OJK.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News