Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pendanaan dari perbankan untuk industri pembiayaan (multifinance/leasing) terus tumbuh.
Berdasarkan data industri multifinance dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Mei 2022, total jumlah pendanaan yang diterima industri masih tercatat turun sekitar 2,5% (year-on-year/yoy) secara tahunan menjadi Rp 217,11 triliun. Namun, khusus pendanaan dari bank dalam negeri, nilainya naik 11,8% (yoy) menjadi Rp 146,2 triliun dari tahun lalu.
Sebagai informasi, pandemi Covid-19 sempat membuat pemain multifinance kesulitan mendapatkan suntikan modal dari pinjaman bank, yaitu pada 2020-2021, akibat kecenderungan perbankan lebih selektif dalam menyalurkan likuiditasnya.
Misalnya, ada PT Buana Finance Tbk (BBLD) yang meraih kucuran fasilitas kredit dari PT Bank DKI senilai Rp 150 miliar. Dana tersebut rencananya akan digunakan sebagai keperluan modal kerja perseroan untuk pemberian fasilitas kredit dan dijamin dengan piutang perseroan.
Baca Juga: Pelaku Industri Fintech Anggota AFPI Bersiap Penuhi Ketentuan Baru OJK
"Kami telah menandatangani perjanjian fasilitas kredit term loan sebesar Rp 150 miliar dari Bank DKI. Kredit tersebut bertenor 36 bulan," kata Corporate Secretary Buana Finance Ahmad Khaetami.
Dengan raihan fasilitas tersebut, Buana Finance telah mendapatkan pendanaan kredit perbankan senilai Rp 950 miliar sepanjang tahun ini.
Seperti diketahui, selain dari Bank DKI, perseroan telah meraih fasilitas kredit senilai Rp 100 miliar dari Bank OCBC NISP, Rp 200 miliar dari Bank Jtrust, dan tambahan fasilitas kredit senilai Rp 500 miliar dari Bank Danamon.
Gencarnya pendanaan yang dilakukan perseroan sejalan dengan jumlah liabilitas yang meningkat 10,56% secara year to date (ytd) menjadi Rp 2,58 triliun pada Maret 2022. Sementara jumlah pinjaman bank dan non bank perseroan memang sudah mencapai Rp 2,41 triliun atau naik 10,11% (ytd) pada kuartal I-2022.
PT Radana Bhaskara Finance Tbk atau Radana Finance juga mendapatkan fasilitas kredit modal kerja pembiayaan sebesar Rp 500 miliar dari PT Bank Jago Tbk. Penandatanganan akad kredit dilakukan oleh Direktur Keuangan Radana Finance Rizalsyah Riezky.
"Fasilitas kredit senilai Rp 500 miliar ini akan dipergunakan untuk membiayai kebutuhan modal kerja pembiayaan anjak piutang dan pembiayaan berbasis aset," ungkap Rizal.
Menurutnya fasilitas pinjaman yang diterima ini merupakan bentuk kepercayaan rekan-rekan perbankan kepada perusahaan. Sebab di tahun sebelumnya perusahaan mampu mencatatkan kinerja positif dalam penyaluran pembiayaan walaupun di tengah pandemi Covid-19.
Pencapaian laba tahun 2021 Radana Finance dicatatkan sebesar Rp 34,7 miliar, dan laba pada kuartal I-2022 sebesar Rp 8,9 miliar. Dengan kinerja Perusahaan yang baik, pada tahun 2022 Radana Finance menargetkan pembiayaan baru sebesar Rp 2 triliun.
"Dengan diperolehnya fasilitas kredit dari Bank Jago ini kami berharap dapat memberikan hal positif bagi Perusahaan dan kami optimis hal ini akan menjadi langkah baik untuk bekerjasama dengan rekan-rekan perbankan lainnya untuk memenuhi target pendanaan Perusahaan," terang Rizal.
Baca Juga: Dongkrak Pembiayaan ESG, Home Credit Raih Pendanaan Rp 156 Miliar dari Deutsche Bank
Selanjutnya ada PT Sharia Multifinance Astra (SMA) atau yang lebih dikenal dengan Amitra yang secara resmi menerima fasilitas pinjaman sebesar Rp200 miliar dari PT Bank Muamalat Indonesia Tbk.
Amitra yang merupakan perusahaan syariah pertama PT Astra International Tbk. (ASII) itu mendapat fasilitas pinjaman dalam bentuk Perjanjian Pembiayaan Syariah Line Facility.
Perjanjian Pembiayaan Syariah Line Facility menggunakan akad Musyarakah dengan tenor maksimal 5 tahun. Inung Widi Setiadji, Presiden Direktur Amitra mengatakan fasilitas pinjaman akan digunakan untuk mendukung operasional bisnis dalam menyalurkan pembiayaan syariah melalui berbagai produk yang disediakan perusahaan.
“Pada 2022, perseroan lebih optimis dalam menjalankan kegiatan usahanya, mengingat tahun ini Arab Saudi telah membuka kembali ibadah umrah dari berbagai negara, serta kuota haji yang sebelumnya ditutup sama sekali,” kata Inung.
Yang terbaru ada PT Home Credit Indonesia (Home Credit) yang mendapatkan suntikan modal dari Deutsche Bank sebesar Rp 156 miliar (US$ 10,4 juta) yang sepenuhnya akan digunakan untuk penyaluran pembiayaan berkelanjutan berbasis Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola Perusahaan (ESG) dengan sejumlah indikator target pencapaian yang terukur.
“Melalui kerjasama pendanaan dengan Deutsche Bank, kami memperkuat komitmen kami terhadap ESG dan pendanaan yang inovatif di saat yang bersamaan,” terang Direktur Home Credit Indonesia Volker Giebitz.
Volker juga menyampaikan bahwa pendanaan ini akan senantiasa membuka kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat Indonesia khususnya mereka yang belum terjangkau layanan pembiayaan formal, untuk dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan hidup mereka melalui layanan dari Home Credit.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengungkap bahwa tren ini mulai terlihat sejak awal tahun, seiring dengan data pertumbuhan nominal pendanaan yang diterima para pemain dari bank dalam negeri.
"Secara umum, pembiayaan industri multifinance semakin bagus, baik dari jumlahnya maupun kualitasnya. Jadi wajar kalau tren pendanaan dari bank meningkat. Harapannya, tahun ini pendanaan sudah lebih merata, semua pemain lebih mudah dapat pinjaman. Tapi tentu kembali ke penilaian investor terhadap satu per satu pemain," ujarnya.
Sementara itu, menurut Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, prospek dari multifinance saat ini cukup positif, dengan suku bunga yang masih di tahan.
Artinya secara bunga yang relatif kompetifif, kemudian multifinance juga mendapatkan kenaikan pendapatan setelah adanya pemulihan ekonomi dan dibantu oleh boomingnya harga komoditas. Hal ini membuat bank berbondong-bondong memberikan pinjaman ke multifinace secara langsung dan tidak langsung.
"Oleh karena itu banyak multifinance yang masuk untuk pembiayaan alat berat, masuk untuk kontraktor pertambangan, dan juga multifinance yang bergerak di sektor ritel itu sekarang sudah alami kenaikan permintaan. Itu juga yang membuat bank semakin semarak kucurkan pendanaan ke multifinance," kata Bhima.
Bhima menyebut, tren ke depan multifinance akan semakin menarik banyak pendana terutama multifinance yang penyalurannya secara B2B, karena B2B terutama yang berkaitan dengan komoditas ini masih menjadi prospek, seperti yang berkaitan dengan angkutan logistik juga masih cukup menjanjikan.
"Sementara untuk yang B2C, misalnya ke sektor ritel juga ada perbaikan, tapi tantangannya ada inflasi yang naik, dan relatif lebih sensitif. Ketika suku bunga acuan mulai naik dan tentunya untuk yang consumer akhir banyak alternaitf untuk sumber-sumber pendanaan. Untuk yang B2B ini permintaannya relatif sedang bagus," terang Bhima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News