Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sistem keamanan teknologi informasi (IT) pada perbankan di Indonesia dinilai masih lemah dan tak kuat. Terutama dalam menghadapi ancaman kejahatan finansial, seperti tingginya kasus kejahatan perbankan, pencurian identitas nasabah, dan praktek pencurian uang. Modus kejahatan finansial semakin canggih seiring pesatnya teknologi. Para pelaku kejahatan dunia maya (cyber crime) pun sangat mudah masuk dan melakukan kejahatan.
Salah satu contoh lemahnya keamanan perbankan yang baru-baru ini terjadi yaitu, sejumlah nasabah di Bali dikabarkan telah kehilangan uangnya yang disimpan dalam bentuk deposito di PT Bank Mega Tbk. (MEGA). Kasus ini mulai terungkap dalam pemberitaan di media massa sejak Februari lalu dan jumlahnya kini terus bertambah. Jumlah kerugian saat ini ditaksir sekitar Rp 56 miliar dengan jumlah korban sekitar 14 nasabah.
Raibnya dana nasabah deposan merupakan ulah oknum. Bank Mega telah menerima pengaduan tersebut dan saat ini masih melakukan investigasi kepada pihak-pihak yang terkait, serta penelusuran transaksi nasabah-nasabah yang dimaksud secara cermat. Bank Mega mengklaim tidak akan mentolerir setiap kegiatan yang melanggar nilai-nilai perusahaan dan ketentuan hukum.
Selain itu berdasarkan catatan kontan, pada November 2020 lalu, kasus hilangnya dana juga menimpa seorang nasabah PT Bank Maybank Tbk yaitu Atlet e-Sport Winda D Lunardi alias Winda Earl dan ibunya, Floletta Lizzy Wiguna yang kehilangan uang Rp 22 miliar.
Baca Juga: Biaya dana BTN, BNI dan Bank Woori sudah menyusut
Kasus raibnya uang akhirnya diselesaikan di ranah hukum. Winda melaporkan kejadian tersebut ke polisi dan terdaftar dengan nomor LP/B/0239/V/2020/Bareskrim tanggal 8 Mei 2020.
Kasus hilangnya uang milik Winda Earl baru terungkap ke publik saat Winda menyambangi Gedung Bareskrim Polri untuk mengetahui perkembangan penyidikan kasus dugaan kejahatan perbankan yang menimpa dirinya dan ibunya, Floletta.
Akhirnya terungkap, pelaku A tak benar-benar membuat rekening berjangka sesuai yang dijanjikannya di Maybank. Tersangka memalsukan semua data-data untuk membuat korban percaya bahwa dirinya sudah dibuatkan rekening berjangka di bank tersebut. Uang milik korban selanjutnya ditarik tanpa sepengetahuan dan izin dari korban. Pelaku kemudian mentransfer uang korban ke rekan-rekan tersangka, kemudian diputar dengan harapan bisa mendapatkan keuntungan.
Kejadian pembobolan nasabah tersebut bukan pertama kalinya terjadi menimpa para nasabah perbankan di Indonesia. Sebelumnya, di tahun 2019, seorang nasabah PT Bank Rakyat Indonesia (persero) Tbk melaporkan dana Rp 80 juta miliknya di tabungan raib. Hilangnya uang nasabah ini diketahui seusai mencetak buku rekening di Kantor Cabang Bank BRI Pekayon.
Dalam buku rekeningnya terlihat laporan penarikan uang dengan nominal berbeda-beda yang dilakukan lebih dari sekali. Usai kisah ini viral, BRI berjanji mengembalikan uang nasabahnya jika terbukti dia menjadi korban tindakan skimming.
Kekacauan sistem pada bank milik negara itu telah menyebabkan kecemasan dan keresahan yang luas. Masyarakat juga membutuhkan penjelasan yang transparan tanpa melanggar prinsip kerahasiaan bank: mengapa sistem operasi bank bisa kacau?
Yang apabila terjadi kerentanan sistem bisa berakibat fatal. Agar kepercayaan publik tidak hilang, bank mesti serius meningkatkan keamanan teknologinya serta kesiapan sumber daya manusianya untuk menghadapi gangguan sistem semacam ini. Bukan cuma simpanan nasabah yang harus aman, tapi datanya juga.