Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Perhimpunan Bank-Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah Se-Indonesia (Perbamida) mengakui adanya potensi kredit macet Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pada tahun ini. Kondisi ini tak lepas dari dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang disertai inflasi.
Menurut Raden Soeroso, Ketua Umum Perbamida, bisnis BPR selama ini kebanyakan mengandalkan penyaluran kredit mikro kepada nasabah yang jelas berasal dari kalangan menengah ke bawah. “Dengan harga BBM subsidi yang semakin naik diikuti kenaikan harga barang dan jasa, sudah tentu ini memperberat biaya hidup para debitur kami. Otomatis ini mempengaruhi kemampuan bayar angsuran kredit dari BPR,” kata Raden saat dihubungi KONTAN, Kamis (20/11).
Oleh sebab itu Raden meminta kalangan BPR milik Pemda untuk tak serta merta menaikkan bunga kredit meskipun baru saja Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) dari 7,50% menjadi 7,75%. “Tapi BPR tentu harus semakin selektif dalam menjaga kualitas pertumbuhan kreditnya,” pungkas Raden.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per September 2014, jumlah kredit yang dikucurkan BPR tumbuh dari Rp 58,28 triliun per September 2013 menjadi Rp 67,68 triliun per September 2014 atau tumbuh 16,12% secara year on year (yoy). Sayangnya, kenaikan ini juga diikuti kenaikan rasio kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) dari 5,12% per September 2013 menjadi 5,28% per September 2014.
Sejauh ini suku bunga rata-rata kredit BPR tak mengalami kenaikan signifikan. Di akhir September 2013, besaran suku bunga kredit BPR untuk kredit modal kerja, kredit investasi dan kredit konsumsi masing-masing 30,41%, 25,70% dan 25,19%. Sementara di akhir September 2014, besaran suku bunga kredit BPR untuk kredit modal kerja, kredit investasi dan kredit konsumsi masing-masing 29,55%, 25,97%, dan 25,47%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News