Reporter: Steffi Indrajana | Editor: Test Test
JAKARTA. Perbankan meminta Bank Indonesia (BI) merevisi Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 05/06/2003 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) atau lebih ngetop dengan sebutan letter of credit (L/C). Para bankir menilai, beleid lama tersebut sudah tidak relevan dengan ketentuan internasional.
General Manajer Divisi Internasional Bank Rakyat Indonesia (BRI) Isnen Sutopo menjelaskan, beleid yang berlaku saat ini masih menggunakan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) 500. Sedangkan saat ini, acuan yang dipakai secara internasional adalah UCP 600. “PBI perlu direvisi agar sejalan dengan ketentuan internasional,” tutur Isnen, dalam Forum Specific Interest Group (SIG) yang digelar BRI, Senin (4/10).
SIG merupakan kelompok yang terdiri dari para ahli bidang peraturan perdagangan internasional. Forum ini secara rutin digelar untuk mengevaluasi permasalahan dalam sistem perdagangan Indonesia. Sementara UCP 600 merupakan versi terakhir untuk pedoman umum internasional transaksi letter of credit (L/C) yang diterbitkan oleh International Chamber of Commerce (ICC).
UCP 600 berlaku efektif sejak1 Juli 2007. Sejak tanggal tersebut diharapkan semua bank yang menerbitkan L/C mengacu pada UCP 600. Isnen menjelaskan, salah satu perbedaan paling mendasar adalah eksportir akan lebih terlindungi jika menggunakan konsep terbaru.
Wakil Pemimpin Divisi Internasional Bank BNI Syamsu menambahkan, dalam merevisi PBI itu, pasal yang terkait dengan dokumen pengangkutan sebaiknya juga diubah. "Di setiap tempat mempunyai format dokumen yang berbeda-beda. Standar seperti ini akan merepotkan," jelasnya.
Selain itu, ketentuan akseptasi wesel ekspor juga perlu berubah. Selama ini peraturannya adalah akseptasi wesel harus secara fisik, Syamsu berharap ketentuan ini direvisi. "Cukup menggunakan berita elektronik," jelasnya.
Menurut Technical Advisor Banking Technique and Practice Internasional Chamber of Commerce (ICC) Indonesia Haryadi Sarpini, pada praktiknya sudah jarang transaksi yang menggunakan wesel fisik. "Biasanya menggunakan lektronik," ujar Haryadi. Sayangnya, kerangka hukum untuk penggunaan berita elektronik ini belum ada. "Kalau sudah ada, berita elektronik ini bisa dijadikan barang bukti jika ada masalah yang masuk ke pengadilan," jelasnya.
Menurut Syamsu, penggodokan masalah ini masih akan terus dilakukan dengan BI. "Masih ada beberapa diskusi-diskusi dan pertemuan dengan BI. Tanggal 8 atau 9 Oktober kita akan bertemu BI di Bandung untuk membahas masalah ini," ujar Syamsu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News