Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Melihat kondisi ekonomi global yang belum stabil, perbankan saat ini harus lebih waspada menyalurkan kredit dalam mata uang asing alias kredit valas (valuta asing).
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menuturkan, perbankan di Tanah Air saat ini sudah banyak berkaca pada momen krisis perbankan yang terjadi di tahun 1998 silam.
Bukan tanpa sebab, kala itu memang banyak bank Tanah Air yang tumbang akibat penyaluran kredit valas yang terlalu besar. Pasalnya, pada krisis 1998 kurs mata uang rupiah terhadap dolar terkoreksi tajam dari Rp 2.500 per dolar AS menjadi ke level Rp 16.000 per dolar AS.
Baca Juga: BTPN akan tambah tiga mata uang baru di Jenius akhir tahun ini
Jahja mencontohkan, pada periode 1998 ke bawah, BCA menjadi salah satu bank yang rajin menyalurkan kredit valas. Kala itu, eksposur kredit valas terhadap neraca alias porsi kreditnya bisa mencapai 30%. Hal ini yang membuat bank kesulitan ketika terjadinya krisis perbankan di tahun itu. "Sekarang portofolio kredit valas kami hanya di bawah 7% saja," ujar Jahja saat ditemui di Jakarta, Selasa (3/12).
Menurut Jahja, kredit dalam mata uang asing punya risiko lebih tinggi ketimbang rupiah. Pasalnya, kebanyakan debitur memiliki jaminan kredit dalam bentuk rupiah. Meski begitu, bank swasta terbesar di Tanah Air ini menuturkan kredit valas tetap tumbuh positif.
Sayangnya, ia enggan merinci secara detail besaran pertumbuhannya. "Kami selalu batasi, patokan kami (porsinya) 7%-8% saja sudah cukup," sambungnya.
Sementara itu, salah satu bank yang cenderung aktif menyalurkan kredit valas yakni PT Bank Woori Saudara Tbk (BWS) mengatakan saat ini porsi kredit valas Bank Woori masih cukup tinggi yakni mencapai 40% dari total kredit.
Menurut Direktur BWS I Made Mudiastra, hal ini sangat wajar lantaran profil debitur Bank Woori Saudara mayoritas merupakan pelaku usaha yang berorientasi ekspor impor dan perusahaan asing.