Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dua dari empat bank besar yang ada di Indonesia telah melaporkan laba yang berhasil dihimpun sepanjang 2024. Kendati secara tahunan mengalami pertumbuhan, dua bank ini kompak mengalami penurunan laba secara kuartalan.
Ambil contoh, PT Bank Central Asia Tbk (BCA). Selama kuartal IV/2024, labanya tercatat senilai Rp 13,8 triliun. Capaian itu mengalami penurunan sekitar 3,1% jika dibandingkan pada perolehan laba di kuartal sebelumnya.
Jika dirinci lebih lanjut, penurunan laba BCA secara kuartalan ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, adanya laju pertumbuhan yang melambat untuk pendapatan bunga bersih. Kedua, pendapatan non bunga yang sebelumnya diandalkan di tengah era suku bunga tinggi justru mengalami koreksi.
Adapun, pendapatan bunga bersih BCA di kuartal terakhir 2024 hanya tercatat tumbuh 1,4% secara kuartalan menjadi Rp 21,4 triliun. Ini menjadi pertumbuhan paling mini dalam empat kuartal di 2024. Sementara, pendapatan non bunga justru terkoreksi hingga 6,2% secara kuartalan menjadi Rp 6,2 triliun.
Baca Juga: BBCA Teratas, Cek 10 Saham Net Sell Terbesar Asing pada Akhir Pekan, Jumat (24/1)
Pendapatan bunga bersih sendiri dimengerti sebagai selisih antara pendapatan bunga yang didapat dari penyaluran kredit dan biaya bunga yang perlu dibayar untuk imbal hasil deposito. Meskipun saat ini Bank Indonesia (BI) telah menurunkan bunga acuannya, hal tersebut tak langsung berdampak pada pendapatan bunga bank.
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengungkapkan bahwa saat ini pihaknya bersikap hati-hati dalam menentukan bunga, baik itu simpanan maupun kredit. Ia mencontohkan jika pihaknya mengambil sikap untuk menurunkan bunga simpanan, itu berpotensi bakal membuat nasabah memindahkan uangnya dari bank ke instrumen yang memiliki imbal hasil lebih tinggi.
Sementara, untuk bunga kredit, ia berkeyakinan penurunan bunga kredit juga tak semerta-merta meningkatkan permintaan kredit. Malah, ia melihat saat ini daya beli masyarakat masih cukup lemah yang akhirnya berdampak pada permintaan kredit yang lesu,
“Nobody knows apa yang akan terjadi di 2025. Kita akan mengikuti market, kita akan sangat prudent dalam memberikan pinjaman-pinjaman. Kita juga tidak bisa melepas daripada situasi lemahnya buying power masyarakat,” ujar Jahja, belum lama ini.
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham untuk BCA (BBCA) yang Membukukan Rekor Laba Rp 54,8 Triliun
Penurunan kinerja secara kuartalan juga terjadi pada PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). Di mana, secara kuartalan, laba BNI mengalami koreksi 8,2% menjadi Rp 5,15 triliun selama periode kuartal akhir 2024.
Sama halnya dengan BCA, BNI juga mengalami perlambatan untuk laju pertumbuhan pendapatan bunga bersih. Namun, yang paling mencolok adalah meningkatnya beban biaya provisi BNI yang naik signifikan mencapai 50,3% secara kuartalan menjadi Rp 2,82 triliun.
Adapun, salah satu penyebab bengkaknya biaya provisi tersebut adalah antisipasi yang dilakukan BNI terkait utang milik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Di mana, utang tersebut berpotensi macet pasca Sritex dinyatakan pailit.
Direktur Keuangan BNI Novita W. Anggraini pun mengungkapkan bahwa BNI memang telah membentuk pencadangan yang memadai sepanjang 2024. Ini tercermin dari rasi Loan at Risk (LaR) coverage yang mencapai 48,8%, serta NPL coverage yang terjaga di level 255,8%.
Sementara itu, NPL gross BNI turun 10 basis poin secara tahunan (YoY) menjadi 2 % di 2024. Tak hanya itu, LaR juga mengalami penurunan dari sebelumnya 12.9% di 2023 menjadi 10.2% di 2024.
Baca Juga: Tumbuh 2,7%, BNI Catat Laba Bersih Rp 21,46 Triliun di 2024
Novita bilang langkah ini merupakan wujud bahwa BNI tetap berhati-hati dan juga tumbuh secara konservatif di tengah ketidakpastian global. Di mana, penguatan kualitas aset juga terus dilanjutkan.
“Fundamental yang solid, ini menjadi landasan bagi BNI untuk dapat tumbuh secara prudent pada tahun 2025,” ujarnya.
Melihat kondisi tersebut, Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan melihat tantangan bagi perbankan saat ini adalah bagaimana menjaga kualitas kredit. Di mana, masih ada tekanan ekonomi seperti penurunan daya beli.
Menurutnya, penurunan daya beli ini bisa berimbas pada kualitas kredit yang ada sinyal menuju pemburukan. Ditambah lagi ada tren mengetatnya likuiditas bank dan efisiensi perbankan.
“Tren di kuartal pertama masih sama dan yang perlu diwaspadai adalah terkait daya beli dan likuiditas bank,” ujarnya.
Selanjutnya: Ekonomi Spanyol Tumbuh 3,2% pada 2024, Lampaui Zona Euro
Menarik Dibaca: Kejatuhan Pasar Terjadi Februari 2025, Robert Kiyosaki Sebut Aset Ini bakal Meledak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News