Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi pengembang Real Estate Indonesia (REI) mengeluhkan proses restrukturisasi kredit yang dilakukan perbankan.
Sejumlah anggota asosiasi ini yang melakukan restrukturisasi kredit karena terdampak pandemi Covid-19 disebut tidak masuk kategori lancar meskipun ada relaksasi aturan restrukturisasi dalam POJK 11.
Totok Lusida, Ketua Umum REI mengatakan, pengembang bukan tidak mau membayar bunga tetapi hanya meminta ditunda karena dampak Covid-19 sangat menekan bisnis.
"Ini banyak laporan dari anggota REI seperti ini. Kalau mereka sudah masuk kolektabilitas tidak lancar maka tidak akan bisa dapat kredit modal kerja lagi untuk kembali memulai usaha agar bangkit," terang Totok pada Kontan.co.id, Selasa (22/9).
Baca Juga: REI: Sektor properti butuh dukungan pemerintah di tengah pandemi
Selain itu, lanjut Totok, proses restrukturisasinya juga lambat. Ia mencontohkan, ada developer yang mengajukan restrukturisasi dari Maret namun baru akan disetujui pada bulan Agustus sehingga debitur itu tetap diminta membayar bunga dari Maret-Juli.
Sedangkan operasional pengembang itu sudah bermasalah sejak Covid-19 mencuat dan tidak punya kemampuan membayar bunga lagi seperti sedia kala. Misalnya, angsuran debitur Rp 5 miliar setiap bulannya dan sejak Maret hanya punya kemampuan mengangsur Rp 2,5 miliar.
Saat dipaksa untuk tetap membayar angsuran dari Maret- Juli developer tidak sanggup. Alhasil restrukturisasi semakin mundur dan pengembang semakin terpuruk.
Totok menyebut jumlah pengembang yang tidak langsung masuk kategori lancar saat melakukan restrukturisasi cukup banyak. Namun, ia tidak merinci jumlah pastinya.
Menanggapi hal itu, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menyampaikan dalam menetapkan kolektabilitas debitur dalam proses restrukturisasi Covid-19 akan tergantung pada posisi kolektabilitasnya sebelum masa pandemi Covid-19.
"Jika sebelum masa pandemi, posisi kolektibilitas lancar maka akan tetap dikategorikan lancar. Namun, bila sebelum masa Covid-19 sudah tidak lancar maka kolektibilitasnya akan mengikuti ketentuan yang ada," kata Vera Eva Lim Direktur Keuangan BCA.
Ia menegaskan, BCA tetap berkomitmen mendukung nasabah untuk bisa menghadapi perlambatan bisnis dengan memberikan restrukturisasi kredit secara selektif pada berbagai segmen.
Sepanjang Maret-Juni 2020, BCA telah memproses pengajuan restrukturisasi kredit sebesar Rp115 triliun dari 118.00 nasabah atau sekitar 20% dari total portofolio kredit perseroan. Per 30 Juni, total kredit yang telah selesai direstrukturisasi mencapai Rp 69,3 triliun.
Restrukturisasi kredit ini diperkirakan masih bisa meningkat hingga 20%-30% terhadap total kredit perseroan.
Vera bilang, BCA selalu bekerja sama dengan para pemangku kepentingan untuk mencari solusi guna mencapai pemulihan di tengah situasi pandemi saat ini dan berharap segera ada perkembangan positif ke depan.
Sementara, Bank BTN menegaskan semua restrukturisasi kredit yang dilakukan perseroan terhadap debitur terdampak Covid-19 langsung masuk kategori lancar.
Baca Juga: REI DKI Minta Dukungan Pemerintah Bantu Pulihkan Industri Realestate
"Kalau memang memenuhi kriteria pasti kami proses sesuai POJK 11. Namun, beberapa debitur yang sebelum Covid-19 sudah bermasalah tidak dapat dikategorikan dalam restrukturisasi Covid-19," kata Direktur Collection & Asset Management BTN Elizabeth Novi.
Per 31 Agustus, total restrukturisasi kredit BTN sesuai POJK 11 untuk debitur komersial mencapai Rp 9,5 triliun. Itu termasuk di dalamnya restrukturisasi kepada pengembang properti. Sementara total kredit yang telah direstrukturisasi mencapai Rp 50,1 triliun.
Senada, Herwidayatmo Direktur Utama Bank Panin mengatakan, semua debitur yang terdampak Covid-19 direstrukturisasi sesuai dengan POJK 11. "Kami tidak menerima keluhan dari debitur korporasi yang direstrukturisasi," ujarnya.
Per 14 September, total kredit yang sudah direstrukturisasi Bank Panin mencapai Rp 26,8 triliun. Itu berasal dari 15.204 debitur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News