Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aksi Amerika Serikat (AS) mendepak Indonesia sebagai negara berkembang dan mengklasifikasikannya sebagai negara maju diprediksi bakal mempengaruhi kinerja kredit ekspor perbankan tanah air.
Sejumlah bank tahun ini juga diprediksi bakal mulai mengurangi eksposurnya terhadap kredit berorientasi ekspor. Maklum, dari catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun lalu segmen kredit ini memang tumbuh stagnan.
Baca Juga: Sandiaga: Indonesia masih negara berkembang, belum berpenghasilan tinggi
“Secara jangka panjang, diklasifikasikannya Indonesia sebagai negara maju memang akan berdampak ke kredit ekspor, karena mayoritas tujuan ekspor menuju Amerika,” kata Juru Bicara PT Bank Woori Saudara Indonesia 1906 Tbk (SDRA) Rully Nova kepada Kontan.co.id, Selasa (25/2).
Meski demikian dalam jangka pendek status anyar bagi Indonesia tersebut belum akan banyak berpengaruh. Lantaran bank hanya akan merealisasikan kontrak yang sudah berjalan saja.
Per November 2019, perseroan sendiri telah berhasil merealisasikan total kredit Rp 26,79 triliun. Nilai tersebut tumbuh 18,96% (ytd) dibandingkan akhir Desember 2018 senilai Rp 22,52 triliun.
Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Haru Koesmahargyo juga mengakui hal senada. Alasannya sejumlah insentif yang sebelumnya dimiliki Indonesia sebagai negara berkembang dalam perdagangan global bakal lenyap.
Baca Juga: Donald Trump: Pasar saham akan ambruk kalau saya kalah
“Hal tersebut sejatinya memang mendorong kompetisi global yang lebih baik, namun kredit ekspor memang akan jadi tantangan karena Indonesia akan kehilangan insentif sebagai negara berkembang,” katanya kepada Kontan.co.id.
Selanjutnya eksposur kredit perseroan di segmen ekspor juga diakui Haru bakal lebih dikurangi. Lantaran tahun ini, perseroan akan makin fokus mendorong pertumbuhan kredit di segmen mikro.
“Saat ini kredit ekspor BRI nilainya sekitar Rp 40 triliun atau setara 5% dari portofolio. Dimana mayoritas berasal dari segmen korporasi dan industri pengolahan. Dengan fokus di segmen mikro tahun ini, segmen korporasi kami jaga pertumbuhannya di level moderat,” sambung Haru.
PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) juga mengakui tak akan terlalu ekspansif mengejar pertumbuhan kredit ekspor. Apalagi tahun ini, bank swasta terbesar di tanah air ini juga cuma membidik pertumbuhan kredit mini di kisaran 5%-7%.
“Tahun lalu pertumbuhan kredit ekspor kami negatif 3,2% (yoy) menjadi Rp 1,9 triliun. Kami juga akan mempertimbangkan kehati-hatin serta mengutamakan penyaluran kredit kepada nasabah yang punya rekam jejak dan prospek bisnis yang baik,” kata Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA Hera F. Haryn kepada Kontan.co.id.
Baca Juga: Status Indonesia berubah, Luhut: Kita tetap dapat fasilitas GSP
Sementara strategi berbeda justru akan dilakukan PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN). Direktur Kredit Dadi Budiana bilang kredit ekspor perseroan tak akan banyak terganggu akibat situasi tersebut.
“Kredit ekspor kami tidak terlalu besar dibandingkan portofolio kredit kami. Sehingga dampaknya saya rasa tidak akan terlalu berarti buat Bank Danamon,” katanya.
Tahun ini, perseroan juga akan melanjutkan sinergi dengan induk usahanya yaitu Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) untuk mendorong pertumbuhan perbankan global.
Salah satunya untuk membuka kesempatan para pelaku usaha asal Jepang untuk berekspansi di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia.
Tahun lalu, Bank Danamon juga telah menggelar matching business yang berhasil menarik minat 80 korporasi asal negeri Sakura. Segmen enterprise banking dan trade finance memang jadi salah satu pertumbuhan kredit Bank Danamon tahun lalu.
Segmen enterprise banking tumbuh 6% (yoy) menjadi Rp 44,0 triliun, sementara trade finance tumbuh 5% menjadi Rp 143,8 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News