kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Satgas P2P Lending : Ditopang regulasi yang kuat, fintech di Indonesia tumbuh pesat


Selasa, 17 Juli 2018 / 18:55 WIB
Satgas P2P Lending : Ditopang regulasi yang kuat, fintech di Indonesia tumbuh pesat
ILUSTRASI. Ilustrasi Keamanan Fintech


Reporter: Ferrika Sari | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bisnis peer to peer (P2P) lending di China sedang mengalami masalah berat. Banyak investor di China menarik pendanaannya, setelah 137 platform fintech P2P lending berhenti beroperasi di sepanjang Juni hingga Juli 2018.

Mengutip Bloomberg Selasa (17/7), platform tersebut berhenti beroperasi karena setelah diselidiki ternyata melarikan uang investor, mengalihkan dananya ke bisnis lain, menerapkan bunga terlalu tinggi dan gagal menghandle kredit macet (NPL). 

Terlebih, sejak awal pendiriannya, China belum mempunyai regulasi yang kuat untuk mengawasi industri fintech tersebut.

Akibatnya, investor kehilangan kepercayaannya pada perusahaan fintech, karena mereka tidak tahu apakah perusahaan tersebut akan bertahan. Kondisi ini berdampak sistemik dan menimbulkan kepanikan di China, karena memutus akses individu atau perusahaan yang mengandalkan pembiayaan, yakni orang-orang yang membutuhkan modal kerja, tidak dapat pembiayaan dari perbankan dan investor pasar modal yang berinvestasi di bisnis ini.

Mengetahui hal tersebut, Chief Executive Officer (CEO) Modalku Reynold Wijaya mengatakan, kejadian tersebut terjadi karena sedari awal pemerintah China tidak mempunyai regulasi yang kuat untuk mengawasi bisnis pinjam meminjam berbasis teknologi.

“Makanya di China tumbuh perusahaan fintech abal-abal dan liar. Banyak Fintech di China yang tidak terdaftar dan tidak diawasi oleh pemerintah, karena zaman dahulu China tidak punya regulasi industri fintech,” kata Reynold kepada Kontan.co.id, Selasa (17/7).

Atas kondisi tersebut, pihaknya merasa bersyukur di Indonesia dari awal tumbuhnya industri fintech telah mempunyai regulasi yang kuat. Seperti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 77/POJK/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang berbasis teknologi. Secara umum perusahaan fintech yang ingin beroperasi di Indonesia, harus memenuhi syarat OJK yakni sudah berstatus terdaftar dan berizin dari pemerintah.

“Kalau di Indonesia fintech yang abal-abal sudah dibasmi, itu dari proses pendaftaran dan perizinan fintech yang ketat, untuk memastikan perusahaan itu baik agar industri pembiayaan biasa aman,” ungkapnya.

Reynold yang juga menjabat sebagai Koordinator Satgas P2P Lending Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) ini sangat mengapresiasi kinerja OJK yang dinilai tegas dan mendukung perkembangan industri fintech di tanah air. 

Terlebih, perusahaan fintech diwajibkan mengedepan perlindungan konsumen, dengan melaporkan keuangan secara berkala dan mengantisipasi tindakan pencucian uang.

Untuk menjamin keamanan tersebut, perusahaan fintech berperan sebagai escrow atau pihak ketiga yang menghubungkan antara penjual dan pembeli. Tujuannya adalah sebagai fasilitator dana investor kepada peminjam.

“Dari awal sudah dibentuk escrow account, sehingga tidak bisa melarikan dana investor. Melalui ini sudah ada data pemberi pinjaman secara detil, hal ini membuat kerja kami lebih kredibel,” jelas dia.

Di sisi lain, untuk memitigasi risiko gagal bayar, melalui bantuan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), di mana teknologi ini mampu menyeleksi secara ketat calon peminjam. 

Meski demikian, menurut Reynold, tetap saja teknologi tersebut berpotensi adanya kredit macet atau gagal bayar.

“Gagal bayar itu adalah suatu risiko, setiap industri fintech maupun perbankan ada risiko gagal bayar. Tapi bagaimana dari awal bagaimana kami menelusuri calon peminjam secara tepat dan memperhatikan kualitas loan,” jelas dia.

Dalam hal ini, penyelesian calon peminjaman itu ditentukan oleh jumlah pinjamannya. Semakin besar jumlah pinjamannya, maka persyaratannya akan semakin ketat, dari mulai mengetahui jejak rekam peminjam, bagaimana reputasi perusahaan tersebut hingga mendatangi langsung ke lokasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×