Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kelompok bank kecil kembali mendapatkan cobaan yang menantang dari regulator. Bila sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta bank kecil menggerek modal inti minimum Rp 3 triliun, kini kelompok bank harus memenuhi ketentuan giro wajib minimum (GWM) dari Bank Indonesia.
Sebenarnya, aturan GWM sebesar 9% pada September 2022 mendatang, akan berlaku bagi seluruh pelaku industri perbankan. Namun Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menilai bank besar akan mudah memenuhi ketentuan ini lantaran memiliki likuiditas yang lebih fleksibel ditopang oleh dana murah.
“Ini akan menjadi kebijakan unpopular bagi bank kecil. Likuiditas bank kecil akan terganggu dengan mengurangi volume kredit, tidak sampai menghentikan penyaluran pembiayaan,” ujar Amin kepada Kontan.co.id pada Rabu (8/5).
Memang, BI telah mempercepat normalisasi kebijakan likuiditas melalui kenaikan GWM Rupiah secara bertahap. Untuk Bank Umum Konvensional yang pada saat ini sebesar 5,0% naik menjadi 6,0% mulai 1 Juni 2022, 7,5% mulai 1 Juli 2022 dan 9,0% mulai 1 September 2022.
Baca Juga: Pendapatan Bank dari Bisnis Bancassurance Semakin Mekar
Lalu, Kewajiban minimum GWM Rupiah untuk Bank Umum Syariah Unit Usaha Syariah (UUS) yang pada saat ini sebesar 4,0%, naik menjadi 4,5% mulai 1 Juni 2022, 6,0% mulai 1 Juli 2022, dan 7,5% mulai 1 September 2022.
Bahkan Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan langkah ini tentu saja akan menyedot likuiditas. Perkiraan BI, kenaikan GWM akan menyerap likuiditas dari dana pihak ketiga (DPK) perbankan secara industri hingga Rp 200 triliun.
Amin menilai, terjadi kesinambungan antara kebijakan OJK terkait modal inti dan GWM dari BI agar bank kecil segera menginduk ke salah satu bank besar. Sehingga, jumlah bank lebih sedikit, fokus bisnis lebih jelas, dan lebih mudah diawasi.
“Menurut saya, aturan GWM-nya tidak bermasalah dan sudah diprediksi terkait arah kebijakan The Fed. Sehingga, bank kecil yang susah likuiditas harus mencari bank yang lebih besar sebagai induk atau lebih kreatif mencari likuiditas. Bisa mengandalkan melalui digitalisasi,” paparnya.
Kendati demikian, Direktur Keuangan dan Perencanaan Bisnis Bank Sampoerna Henky Suryaputra menyatakan memiliki kondisi likuiditas dengan rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 94,1%per Maret 2022. Lebih tinggi dari biasanya lantaran Bank melepaskan dana mahal dan meningkatkan kredit yang diberikan mengingat kondisi perekonomian yang sudah jauh lebih baik.
Baca Juga: Per April, Restrukturisasi Kredit Terdampak Covid-19 Bank Mandiri Rp 64 Triliun
Ia menilai memiliki cukup waktu dalam penyesuaian GWM 9% pada September 2022. Ia tetap optimis bisa menyalurkan kredit bisa lebih tinggi dari industri perbankan dan LDR di jaga di level 90% di akhir tahun.
“Mempertimbangkan kebutuhan pendanaan kami, penghimpunan dana melalui obligasi belum kami rasa perlu. Pendanaan tetap kami usahakan terutama dari DPK dengan memaksimalkan layanan melalui Sampoerna Mobile Banking dengan produk tabungan Sampoerna Mobile Saving,” tambahnya.