Reporter: Yudho Winarto | Editor: S.S. Kurniawan
Dan memang betul, cespleng. Bank Indonesia (BI) dan BPPN akhirnya setuju mengucurkan duit Bank Bali itu. Jumlahnya Rp 905 miliar. Namun, Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar. Sisanya, sekitar 60% atau Rp 546 miliar, masuk rekening EGP.
Konon, kekuatan politik turut andil mengegolkan proyek ini. Saat itu, sejumlah tokoh Golkar disebut-sebut terlibat untuk ”membolak-balik” aturan dengan tujuan proyek pengucuran duit itu berhasil.
Isu ini terus menggelinding bak bola liar, setelah pakar hukum perbankan Pradjoto angkat bicara. Pradjoto mencium skandal cessie Bank Bali berkaitan erat dengan pengumpulan dana untuk memajukan Habibie ke kursi presiden. Kejanggalan tampak dari total fee yang EGP terima.
Baca Juga: Sejarah Bank Pemata, bermula dari sebuah ruangan kecil di daerah Kota
Perlahan-lahan, kejanggalan itu mulai terkuak. Cessie itu, misalnya, tak diketahui BPPN, padahal saat diteken, BDNI sudah masuk perawatan BPPN.
Cessie itu juga tak dilaporkan ke Bapepam dan PT Bursa Efek Jakarta (BEJ), padahal Bank Bali sudah masuk bursa. Selain itu, penagihan kepada BPPN ternyata tetap Bank Bali yang melakukan, bukan EGP.
Genderang perang
Ketua BPPN saat itu, Glenn M.S. Yusuf sadar akan kejanggalan cessie Bank Bali dan kemudian membatalkan perjanjian cessie. Mulai saat itulah, genderang perang ditabuh.
Baca Juga: Bank Permata, hasil penggabungan lima bank
Setyanovanto lalu menggugat BPPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang. Walau tetap menang di tingkat banding, Mahkamah Agung (MA) melalui putusan kasasinya pada November 2004 memenangkan BPPN.
Tak cukup di situ, EGP juga membawa kasus ini ke ranah perdata dengan menggugat Bank Bali dan BI agar mencairkan dana Rp 546 miliar. Pengadilan, pada April 2000, memutuskan EGP berhak atas dana lebih dari setengah triliun rupiah itu.