Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - Bank Indonesia (BI) akan menerapkan pengenaan biaya isi ulang atau fee top up uang elektronik. Aturan ini tertuang dalam peraturan anggota dewan gubernur (PADG) BI No 19/10/PADG/2017.
Aturan fee top up u-nik yang dikeluarkan BI pada (20/9), akan mulai berlaku efektif pada 20 Oktober 2017 mendatang. Hal ini pun menuai banyak respon dari banyak kalangan, termasuk bank penerbit uang elektronik.
Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Santoso Liem mengtakan, pihaknya masih mengkaji sikap terkait pengenaan uang elektronik. Meski begitu, bank swasta terbesar di Indonesia ini mengungkapkan akan patuh terhadap seluruh kebijakan regulator. "BCA menanti saja kebijakan dari BI, saya pikir ini sudah wilayah regulator," kata dia kepada KONTAN, Rabu (20/9).
Meski begitu, Santoso menekankan bahwa BCA tidak akan memungut biaya isi ulang Flazz (uang elektronik) jika dilakukan di ATM milik BCA. "Selama ini kalau fee top up di ATM BCA tidak ada charges (biaya)," ungkap Santoso.
PT Bank Pembangunan Daerah DKI Jakarta atau Bank DKI mengungkapkan hal serupa. Direktur Utama Bank DKI Kresno Sediarsi mengatakan, seluruh penyelenggara uang elektronik akan menunggu keputusan dari BI terkait besaran fee top up.
Kendati demikian, Kresno memastikan bagi para nasabah bank penerbit yang melakukan isi ulang uang elektronik di ATM masing-masing tidak akan dipungut biaya. "Relatif kalau nasabah kami mengisi isi ulang tidak dipungut biaya, karena itu uang dari tabungan mereka juga," ujar Kresno.
Saat ini baru ada tiga BPD yang memiliki uang elektronik sendiri, antara lain Bank DKI, BJB dan BPD Sumsel Babel. Ketiganya pun mayoritas digunakan untuk sarana dan prasarana di daerah masing masing. "Misalnya untuk uang elektronik bank DKI, itu dipakai untuk museum, Ragunan, monas," katanya.
Kalaupun bank memungut biaya transaksi, menurut Kresno hal tersebut pastinya sudah dalam porsi yang wajar. Pihaknya menilai, sedikitnya bank akan menggelontorkan biaya sekitar US$ 0,3 hingga maksimal US$ 1,5 untuk menerbitkan satu uang elektronik dan itu pun hanya dibebankan ke nasabah melalui pembelian kartu pertama. "Bank itu tidak ambil untung, karena memang tidak ada untungnya," tegasnya.
Sebagai gambaran, berdasarkan data BI saat ini jumlah uang elektronik beredar per Juli 2017 mencapai 69,45 juta naik 35% dibandingkan periode akhir 2016 sebanyak 51,2 juta. Volume transaksi per Juli mencapai 416,5 juta. Nilai transaksi per Juli 2017 mencapai Rp 3,7 triliun. Untuk infrastruktur uang elektronik dalam hal ini mesin pembaca tercatat 455.200 unit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News