Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kehadiran fintech emas dan ecommerce ubah kebiasaan anak muda dalam berinvestasi. Kini lewat dana Rp 10.000 milenial bisa memiliki tabungan emas.
Kendati demikian, inovasi keuangan digital ini masih mengandung risiko serangan siber. Pakar Keamanan Siber dan Persandian dari Communication and Information System Security Research Center (CISSRec) Pratama D. Persada bilang secara prinsip Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hanya mengawasi tabungan emas, bukan perdagangan emas digital.
Ia menyebut tabungan emas yang dimaksud adalah emas dibeli secara online dengan model patungan oleh sejumlah member mengikuti harga emas terkini, artinya emas dalam bentuk fisik benar-benar ada. Hal ini yang dilakukan baik oleh Pegadaian, Bukalapak maupun Tokopedia lewat fitur aplikasinya.
Baca Juga: DANA klaim sudah implementasi QRIS 100% di semua merchant
Ia mengingatkan agar pengguna platform memastikan bahwa nominal emas yang ada dalam rekening tabungan telah dibeli secara fisik oleh platform. Apalagi tren emas semakin mengkilau karena situasi ekonomi global.
Caranya sederhana, para nasabah bisa langsung mengecek di mana penyimpanan emas-emas mereka. Berbeda bila memang hanya diperdagangkan saja dengan cepat. Prinsipnya nasabah ingin keamanan, membeli emas namun resiko penyimpanan emas secara fisik ada di penyedia layanan.
Di dalam peraturan Bappeti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) nomor 4 tahun 2019 dan Permendag nomor 119 tahun 2018, perdagangan emas harus secara fisik. Artinya jelas sertifikat dan beratnya.
"Dari sisi teknis yang patut menjadi catatan adalah faktor pengamanan sistem, baik di sisi aplikasi maupun sisi server utama. Penggunaan aplikasi dan web tetap membuka kemungkinan pihak ketiga yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan manipulasi" ujar Pratama kepada Kontan.co.id pekan lalu.
Ia menyebut hal ini sama seperti praktik uang digital dan dompet digital seperti GoPay dan OVO. Sisi pengamanan pada sistem harus mendapatkan penguatan.