Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) makin gencar menguatkan permodalan perbankan. OJK pun merilis regulasi SEOJK No.6/SEOJK.03/2020 terkait perhitungan aset tertimbang menurut risiko (ATMR) untuk risiko operasional.
Cakupan aturan baru ini menyasar seluruh bank umum konvensional secara individu dan konsolidasi. Artinya belum berlaku bagi perbankan umum syariah.
Kebijakan ini, nantinya akan mempengaruhi penghitungan rasio kecukupan modal minimum (KPPM) atau capital adequacy ratio (CAR) perbankan. Oleh sebab itu, perbankan harus mengkalkulasi Komponen Indikator Bisnis (KIB) dan Faktor Pengali Kerugian Internal (FPKI) guna menghitung Modal Minimum Risiko Operasional (MMRO).
Selain itu, perbankan juga harus menyiapkan Laporan Penerapan Manajemen Risiko Operasional (LMRO) dan Laporan Perhitungan untuk Risiko Operasional (LPRO). Kedua laporan itu harus disampaikan kepada OJK pada 31 Januari 2023.
Baca Juga: Restrukturisasi kredit memberikan ruang bagi bank dan dunia usaha untuk bertahan
Namun, bank harus menyampaikan uji coba pelaporan terkait risiko operasional paling lambat 31 Januari 2021 untuk perhitungan risiko operasional tahun 2021. Juga pada 31 Januari 2022 untuk perhitungan risiko operasional tahun 2022.
Deputi Direktur Departemen Riset dan Regulasi Perbankan OJK Bahruddin Doddy bilang terdapat tiga risiko yang harus dikelola oleh perbankan yakni kredit, operasional, dan pasar. Secara agregat, porsi aset tertimbang menurut risiko (ATMR) perbankan Indonesia per Juni 2021, sebanyak 83% merupakan ATMR risiko kredit, 16% ATMR risiko operasional, dan 1% AMRT risiko pasar.
“Meski angkanya tidak tinggi, risiko operasional ni harus kita jaga juga, apalagi dengan perkembangan digitalisasi dan IT, termasuk cyber risk yang erat kaitannya dengan operasional. Sehingga angka 16% ini kedepannya, harus dijaga sehingga tidak meningkat. Kalau naik, bagaimana kita mitigasinya,” ujar Bahruddin pada pekan lalu.
Oleh sebab itu, OJK terus meminta bank untuk meningkatkan permodalan. Juga mengakselerasi konsolidasi dan penguatan kelompok usaha bank.
Banhruddin bilang, risiko operasional muncul akibat ketidakcukupan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank.Oleh sebab itu, ia mengaku regulator telah merilis standar operasional sesuai Basel III reforms pada 2020 lalu.
Penghitungan ATMR risiko operasional merupakan 12,5 dikali MMRO. MMRO sendiri diperoleh dari KIB dikali dengan FPKI. KIB merupakan indikator berbasis laporan keuangan untuk risiko operasional yang mencakup komponen bunga sewa dan dividen, komponen jasa, dan komponen keuangan.
Sedangkan FPKI adalah pengalaman kerugian operasional bank pada tahun-tahun sebelumnya yang mempengaruhi perhitungan modal untuk risiko operasional. Hal ini berfungsi sebagai multiplier dalam perhitungan MMRO.
PT Bank Central Asia Tbk (BCA) mendukung berbagai kebijakan pemerintah, regulator serta otoritas perbankan termasuk kebijakan OJK yang telah merilis SEOJK No.6/SEOJK.03/2020 terkait perhitungan ATMR untuk risiko operasional.
“Terkait dengan implementasi aturan ini, BCA telah melakukan kajian dan assessment internal untuk memenuhi ketentuan tersebut. Perhitungan ATMR risiko operasional pendekatan standar yang baru ini berpotensi dapat menghemat perhitungan ATMR risiko operasional sehingga dapat meningkatkan CAR Bank namun tentu dengan pemenuhan syarat kualitatif,” ujar Direktur BCA Vera Eve Lim kepada KONTAN pada Jumat (13/8).
Vera menuturkan, saat ini BCA dalam proses pemenuhan syarat kualitatif. Tujuannya guna mendapatkan manfaat penghematan ATMR dari perhitungan ATMR Risiko Operasional yang baru ini. Adapun CAR BCA per Juni 2021 berada di level 25,3% naik dari posisi Juni 2020 di level 22,9%.
Selanjutnya: PPKM bisa berdampak pada peningkatan NPL Perbankan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News