Reporter: Emma Ratna Fury | Editor: Roy Franedya
JAKARTA. Gencarnya penyaluran pembiayaan perbankan syariah, ternyata membawa dampak laten. Berdasarkan data Bank Indonesia per April 2013, rasio pembiayaan terhadap simpanan atau finance to deposit ratio (FDR) bank syariah sudah menyentuh 103,8% atau lebih tinggi dari April 2012 yang masih 95,39%.
Tingginya rasio ini akibat tingginya pertumbuhan pembiayaan tidak diikuti tingginya dana pihak ketiga (DPK). Per April 2013, penyaluran pembiayaan bank syariah mencapai Rp 163,47 triliun atau tumbuh 50,23%, sementara DPK tumbuh 39,03%.
Rasio intermediasi yang melampaui 100% menandakan bank sudah menggunakan modal sendiri dalam menyalurkan pembiayaan. Kondisi ini sangat rawan bagi bank umum syariah (BUS), karena bila terjadi penarikan dana dalam jumlah besar, perbankan akan kesulitan likuiditas. Sementara bagi unit usaha syariah (UUS) tidak masalah, karena masih bisa meminta pada induk mereka.
Salah satu BUS yang memiliki rasio intermediasi tinggi adalah Bank Muamalat dan Bank Rakyat Indonesia Syariah (BRI) yang memiliki FDR masing-masing 103%.
Modal bank besar
Direktur Korporasi Bank Muamalat, Luluk Mahfudah, mengatakan meski memiliki rasio intermediasi tinggi, bukan berarti perbankan syariah kesulitan likuiditas. Bank syariah memiliki modal dalam jumlah besar yang lebih efektif disalurkan dalam bentuk pembiayaan. "Dalam pengelolaan likuiditas, kami mengandalkan dana yang diparkir di Bank Indonesia dan sukuk," ujarnya, pekan lalu.
Pengamat Perbankan, Mohammad Doddy Arifianto, menilai, rasio LDR di atas 100% menunjukkan bank tak piawai mengelola risiko likuiditas. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan memperbaiki likuiditas. Pertama, memperbesar pasar. Kini pangsa pasar perbankan syariah hanya 5% dari total industri perbankan. Artinya, bank syariah masih memiliki ruang berkembang dan menghimpun dana.
Kedua, mencari alternatif pendanaan. Perbankan syariah bisa melakukan dengan menerbitkan surat utang seperti sukuk. Saat ini, Bank Muamalat memanfaatkan sumber alternatif ini. Ketiga, mengerem pembiayaan. "Bank harus mengukur kemampuan mencari DPK baru setiap menyalurkan pembiayaan sebagai bagian manajemen risiko," imbuh Doddy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News