Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan kredit di tahun 2017 dinilai oleh Bank Indonesia (BI) masih belum sesuai harapan. Lihat saja, sampai dengan September 2017 pertumbuhan kredit perbankan hanya sebesar 7,86% secara tahunan atau year on year (yoy) menjadi Rp 4.543 triliun.
Melihat kredit yang tumbuh tipis ini pun membuat BI mematok proyeksi pertumbuhan kredit sepanjang tahun 2017 hanya di level 8%. Proyeksi ini cenderung lebih rendah, lantaran di awal tahun BI memperkirakan kredit setidaknya dapat tumbuh di level 10%.
Alhasil, untuk mengantisipasi terpaan ekonomi di tahun depan BI pun keluar dengan beberapa strategi untuk menggenjot pertumbuhan kredit. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo pun mengatakan, tahun depan, pihaknya akan menyempurnakan Giro Wajib Minimum (GWM) rata-rata alias GWM averaging. Caranya, dengan memperluas jangkauannya hingga mencakup GWM Rupiah dan valuta asing (valas) baik bank konvensional maupun syariah.
Asal tahu saja, aturan mengenai GWM averaging saat ini tertuang dalam Peraturan BI (PBI) No.19/6/PBI/2017 tentang Perubahan Kelima Atas PBI No.15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Konvensional.
Dengan GWM Averaging, bank yang tadinya harus memenuhi GWM 6,5% per hari, kini menjadi wajib 5% per hari, sedangkan 1,5% dipenuhi secara rata-rata pada periode tertentu. Dengan demikian, bank lebih leluasa mengatur likuiditasnya.
Menanggapi arah kebijakan Bank Indonesia ini, perbankan pun merespon cukup optimis kebijakan tersebut.
"Kalau saat dana diperlukan untuk pinjaman, GWM averaging ini akan lebih bagus," kata Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja saat ditemui di Jakarta, Selasa (28/11).
Dia melihat, sikap BI didasari pertumbuhan kredit bank yang masih di kisaran 9%-10%. Namun, BCA mengakui tak khawatir ada kekurangan likuiditas jika kredit digenjot.
Lebih lanjut Jahja menambahkan, alasan BI menerapkan aturan ini antara lain didasarkan pada realisasi pertumbuhan kredit yang masih di kisaran 9% sampai 10%. Artinya, kalaupun hal ini diterapkan pihaknya pun tidak akan khawatir akan kekurangan likuiditas.
Senada, Direktur Utama PT Bank Mandiri (persero) Tbk Kartika Wirjoatmodjo mengatakan impelementasi GWM averaging BI yang hingga mencakup ke perbankan syariah pastinya difokuskan untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan likuditas harian bank.
"Intinya BI, supaya bank punya kapabilitas dan buffer dalam jangka pendek, kalau ada kebutuhan likuditas selalu ada artinya selalu ada instrumen likuid yang bisa dicairkan," kata Tiko, saapan akrab Kartika.
Sedikit berbeda, Wakil Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk atau BNI Herry Sidharta menyebut penyempurnaan GWM averaging akan dapat memberikan peluang penurunan biaya dana di perbankan. Pasalnya, jika hal ini diberlakukan secara otomatis perbankan akan lebih mampu meningkatkan efisiensinya, dus biaya dana pun perlahan bia ditekan.
"Cost of fund pasti bisa turun kalau makin tinggi efisiensi, kalau kemarin-kemarin kan masih fluktuatif. Belanja modal kita kebanyakan masih untuk pencadangan," kata Herry. Bank berlogo 46 ini menambahkan, efisiensi perbankan pun dapat ditingkatkan seiring dengan mulai berkembangnya teknologi yang diterapkan di perbankan. Artinya, likuditas akan bisa bertambah jika GWM averaging disempurnakan.
Sebelumnya, Gubernur BI menjelaskan arah kebijakan bank sentral didasarkan pada tiga prinsip kebijakan. BI akan memegang prinsip yang berorientasi pada masa depan berkesinambungan, serta berimbang sebagai prinsip dasar kebijakan.
"Prinsip berimbang ada 3 dimensi, meliputi keseimbangan kebijakan jangka panjang dan pendek, kuantitas dan kualitas pertumbuhan, pengembangan sektor konvensional dan modern," ujar Agus.
BI juga menyusun strategi implementasi kebijakan tahun 2018. Strategi itu, akan fokus pada tiga elemen utama antara lain penguatan modal fisik, penguatan modal manusia dan peningkatan produktivitas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News