Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) bakal mengumumkan kebijakan suku bunga acuan atau BI rate pada Selasa (24/5). Keputusan ini bakal berdampak bagi perekonomian dan fungsi intermediasi perbankan.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede memprediksi BI akan mempertahankan suku bunga acuannya di level 3,5% pada rapat dewan gubernur BI bulan ini. Lantaran, bank sentral masih harus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan menjaga stabilitas harga alias inflasi.
Meskipun, sentimen hawkish dari Fed mendorong penguatan dolar AS terhadap mata uang global termasuk rupiah. Josua membandingkan dengan mata uang negara berkembang lainnya, pelemahan rupiah cenderung tercatat secara tahun kalender lebih terbatas dengan pelemahan 2,7% year to date (ytd) dibandingkan mata uang lainnya.
Ringgit Malaysia misalnya, terdepresiasi 5,1% ytd; baht Thailand melemah 3,5% ytd dan yuan China yang juga terdepresiasi 5% ytd terhadap dolar AS.
Baca Juga: Ada Risiko Bayangi Progres Pemulihan Ekonomi Indonesia, Ini Kata Ekonom
Di sisi lain, kinerja neraca dagang yang masih tetap solid dimana tercatat surplus US$ 16,9 miliar pada periode Januari hingga April 2022. Sedangkan kinerja ekspor yang tercatat tumbuh 38,7% yoy.
Selain itu, rilis neraca transaksi berjalan pada kuartal I-2022 tercatat surplus 0,07% terhadap PDB melanjutkan surplus transaksi berjalan sejak kuartal ketiga 2021 yang mengindikasikan keseimbangan eksternal yang berada dalam level yang sehat.
Lebih lanjut, mempertimbangkan perkembangan inflasi, pemerintah memberi sinyal akan mempertahankan harga BBM Pertalite, LPG 3 kg dan tarif listrik di bawah 3000VA dalam rangka menjaga daya beli masyarakat.
Kementerian Keuangan telah mengajukan kenaikan belanja APBN 2022 sebagai konsekuensi minimnya penyesuaian harga-harga energi. Dengan demikian, tekanan inflasi pada semester II-2022 ini yang awalnya diperkirakan akan didorong oleh penyesuaian harga energi seperti BBM Pertalite, LPG 3 kg dan listrik) maka ekspektasi inflasi cenderung akan lebih rendah dari asumsi terdapat penyesuaian harga energi tersebut.
“Oleh sebab itu, mengingat inflasi sisi permintaan yang meskipun sudah meningkat namun peningkatannya tidak lebih signifikan dibandingkan dengan kenaikan inflasi sisi supply. Dan ekspektasi bahwa pergerakan nilai tukar rupiah saat ini masih sangat dipengaruhi oleh faktor sentimen eksternal, maka BI diperkirakan akan masih mempertimbangkan untuk menahan suku bunga acuannya sehingga dapat mendukung momentum pemulihan ekonomi Indonesia pada tahun ini,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (23/5).
Josua menyatakan bila BI kembali mempertahankan suku bunga atau justru menaikkan suku bunga acuan, maka pertumbuhan kredit hingga akhir tahun 2022 diperkirakan akan menguat.
Baca Juga: Sri Mulyani Sebut 3 Tantangan Berat Menuju Pemulihan Ekonomi Indonesia
Lantaran proses transmisi kenaikan suku bunga acuan terhadap bunga kredit tetap membutuhkan waktu karena kondisi masing-masing bisa bervariasi tergantung dari kondisi cost of fund bank tersebut.
Analis Makroekonomi Bank Danamon Irman Faiz mengatakan dampak pergerakan suku bunga BI akan terhadap permintaan kredit memiliki jeda waktu tersendiri. Sehingga bila suku bunga naik atau turun tidak serta merta akan langsung berdampak pada saat itu juga.
“Tentu ketika suku bunga acuan disesuaikan, suku bunga kredit juga akan disesuaikan. Sekarang di era suku bunga rendah ini kredit mulai naik seiring juga dengan aktivitas ekonomi yg kembali pulih. Dengan, BI menahan bunga acuan, maka suku bunga kredit juga akan cenderung stabil di level sekarang ini sehingga biaya dari meminjam uang untuk bisnis dan konsumen juga akan rendah,” paparnya kepada Kontan.co.id.
Nah, jka BI mulai menaikkan suku bunga nantinya, pasti kebijakan itu diambil saat kondisi pemulihan sudah solid dan cenderung memicu inflasi yang lebih tinggi. Agar inflasi tidak berlebihan, maka BI perlu menaikkan suku bunganya.
Adapun, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk menilai bila BI menaikkan suku bunga acuannya, maka akan terjadi peningkatan perebutan dana di masyarakat. Sekretaris Perusahaan Bank BRI Aestika Oryza Gunarto menyatakan saat ini, perebutan dana di masyarakat tidak akan seketat pada saat pertumbuhan kredit mencapai double digit.
“Namun demikian dengan likuiditas perbankan khususnya BRI saat ini berada dalam kondisi yang memadai. Dimana LDR BRI pada akhir Kuartal I 2022 tercatat 87%,” ujar Aestika kepada Kontan.co.id.
Menurut Aestika, perubahan suku diproyeksikan tidak akan berpengaruh besar terhadap pertumbuhan kredit. Lantaran suku bunga kredit bukan satu-satunya variabel untuk meningkatkan pertumbuhan kredit nasional.
“Berdasarkan perhitungan model ekonometrika, variabel paling sensitif atau elastisitasnya paling tinggi terhadap pertumbuhan kredit adalah konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat,” jelasnya.
Oleh sebab itu, BRI tetap optimistis mampu menumbuhkan kredit di kisaran 9% hingga 11% yoy hingga akhir tahun 2022. Lanjutnya, sampai dengan saat ini tidak merevisi pertumbuhan yang ditetapkan pada awal tahun.
Adapun Direktur BCA Vera Eve Lim menyatakan suku bunga BCA akan tetap mengikuti arahan Bank Indonesia, dan kami telah melakukan penyesuaian suku bunga kredit yang diberikan kepada nasabah sejalan dengan pergerakan suku bunga acuan BI. Juga mempertimbangkan perkembangan kondisi ekonomi bisnis di tanah air.
“Di sisi lain, BCA berharap pertumbuhan kredit akan tumbuh di kisaran 6%-8% pada tahun 2022, ditopang oleh likuiditas yang masih memadai dan harapan akan pemulihan ekonomi sehingga dapat mendorong permintaan kredit,” tambahnya.
Vera menambahkan, BCA juga senantiasa berkomitmen untuk menyalurkan kredit secara prudent dan tetap mengkaji peluang serta mempertimbangkan prinsip kehati-hatian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News